Senin 18 Dec 2017 08:13 WIB

Mereka Mengabdi di Tapal Batas Borneo

Ilustrasi guru agama.
Foto: Republika
Ilustrasi guru agama.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhyiddin

Melalui program Visiting Teacher 2017 yang diselenggarakan Direktorat Pendidikan Agama Kementerian Agama (Kemenag), sebanyak 60 guru Pendidikan Agama Islam (PAI) telah dikirim ke sejumlah daerah terpencil, terluar, dan tertinggal (3T). Salah satunya di kawasan perbatasan di Pulau Kalimantan.

Rosnaini, guru agama asal Tidore, dan Chadijah Alhasni, guru agama dari Palu, misalnya, dikirim Kemenag ke daerah perbatasan yang ada di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Di sana mereka sempat mengunjungi SMA 1 Badau, Kecamatan Badau, yang berada di perbatasan Indonesia-Malaysia.

Mereka pun bertemu dengan salah satu guru agama di sekolah tersebut, Usmanto. Panjang lebar, Usmanto bertutur tentang suka dukanya menjadi guru agama di sekolah yang siswanya terdiri atas Muslim dan non-Muslim.

Menurut dia, sarana dan prasarana di sekolah ini masih sangat kurang, termasuk untuk menunjang kegiatan siswa yang beragama Islam. ‘’Mulai dari tempat ibadah, Alquran, buku paket, dan buku keagamaan," ujar Usmanto saat ditemui dua guru program Visiting Teacher itu, Sabtu (16/12).

Siswa SMA 1 Badau secara keseluruhan berjumlah 234 siswa, dengan siswa Muslim berjumlah 152 orang. Namun, karena ketiadaan mushala atau surau di sekolah ini, siswa Muslim pun sulit menunaikan shalat Zhuhur di sekolah.

Kurangnya sarana-prasarana keagamaan ini menjadi perhatian guru visitor yang dikirim Kemenag. Keluh kesah Usmanto dan guru-guru agama lain di perbatasan pun dilaporkan ke pemerintah pusat untuk ditindaklanjuti.

Salah satu guru program tersebut, Chadijah, menjelaskan, selain sulit menunaikan shalat di sekolah karena tak ada mushala, siswa SMA 1 Badau juga masih banyak yang belum bisa membaca Alquran. Karena itu, guru visitor mengusulkan agar Usmanto membuat program ekstrakurikuler Baca Tulis Alquran (BTQ).

Namun, usulan tersebut juga tak serta-merta dapat dilaksanakan. Sebab, seperti dituturkan Chadijah, Usmanto sendiri merangkap mengajar berbagai mata pelajaran di sekolah tersebut karena jumlah guru yang kurang. Akibatnya, sulit bagi Usmanto membagi waktunya untuk mengadakan program ekstrakurikuler semacam itu.

"Karena itu, solusi yang kami tawarkan adalah sekolah membina kerja sama dengan penyuluh bimas Islam yang sudah ada untuk membina siswa membaca Alquran," katanya kepada Republika, Ahad (17/12).

Selain mengunjungi sekolah perbatasan tersebut, Chadijah dan Rosnaini juga mengumpulkan guru agama yang ada di Kecamatan Puttusibau. Pengumpulan guru agama dilakukan untuk menyosialisasikan penerapan kurikulum 2013 (K13).

Rosnaini mengatakan, masih banyak sekolah di Kabupaten Kapuas Hulu yang kekurangan sarana dan prasarana untuk menunjang pemahaman keislaman yang moderat. Selain itu, masih banyak guru yang belum bisa menggunakan sistem pengajaran K13 yang menekankan pembentukan karakter serta membuat siswa lebih kritis.

Karena itu, ia berharap kepada pemerintah untuk menyelenggarakan program Visiting Teacher setiap tahun. Sebab, menurut dia, guru agama di perbatasan bahkan belum mengenal istilah-istilah dalam K13.

"Untuk sosialisasi kurikulum 2013 ini mereka bahkan banyak yang belum ikut pelatihan. Jadi, mereka selama ini tidak tahu,’’ katanya.

Oleh sebab itu, kegiatan sosialisasi K13 terasa begitu penting bagi guru-guru agama yang mengabdi di tapal batas Borneo tersebut. (Pengolah: wachidah handasah).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement