Selasa 12 Dec 2017 04:00 WIB

Ustaz Abdul Somad: Antara Pancasila, NKRI, dan Persekusi

Satriwan Salim
Foto: istimewa
Satriwan Salim

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Satriwan Salim *)

Sebagai seorang pendidik, rasa-rasanya penggunaan istilah dan persoalan mengenai “persekusi” intensitasnya makin marak di era pemerintahan sekarang. Berasal dari terminologi asing, diambil dari kata “persecution”, diserap menjadi Bahasa Indonesia menjadi persekusi, yang berarti; “pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga yang kemudian disakiti, dipersusah, atau ditumpas” (KBBI daring).

    

Pola persekusi yang terjadi akhir-akhir ini meliputi; 1) menelusuri orang-orang di media sosial yang dianggap melakukan penghinaan, 2) menginstruksikan massa untuk memburu target yang sudah dibuka identitas, foto dan alamat, 3) mendatangi rumah atau kantor, melakukan intimidasi, dan dalam beberapa kasus dipukul, dipaksa menandatangani surat permohonanan maaf bermaterai, ada pula yang didesak agar ia dipecat (diolah dari  https://kamushukum.web.id/arti-kata/persekusi/)

    

Persekusi di masa Orde Lama misalnya dilakukan oleh Pemuda Rakyat underbow PKI, kepada para kyai dan santri Pondok Pesantren Al-Jauhar di Desa Kanigoro, Kediri, pada 13 Januari 1965. Kyai Jauhari yang juga merupakan adik ipar KH. Mahrus Ali (seorang kyai NU kharismatik pemimpin Ponpes Lirboyo) diseret-seret dan ditendang oleh gerombolan PKI tersebut di pagi buta.

Persekusi yang di zaman itu lazim dikenal dengan sebutan “aksi sepihak”, dilakukan PKI mulai pertengahan 1961. Misalnya peristiwa Kendeng Lembu, Genteng, Banyuwangi (13 Juli 1961), peristiwa Dampar, Mojang, Jember (15 Juli 1961), peristiwa Rajap, Kalibaru, dan Dampit (15 Juli 1961), peristiwa Jengkol, Kediri (3 November 1961), peristiwa GAS di kampung Peneleh, Surabaya (8 November 1962), sampai peristiwa pembunuhan KH. Djufri Marzuqi, dari Larangan, Pamekasan, Madura (28 Juli 1965) (lebih lanjut baca buku: “Benturan NU-PKI 1948-1965”, oleh Abdul Mun’im DZ, 2013).

Kita boleh berbeda pendapat, persekusi yang tak kalah menakutkan juga dilakukan oleh massa bersama organisasi masyarakat dan diperkuat oleh tentara, melakukan persekusi terhadap eks anggota, simpatisan PKI dan yang dituduh PKI. Akibatnya, ratusan ribu orang tewas (lebih lanjut baca buku; “The Indonesian Killings: Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966”, oleh Robert Cribb, 2003).

Tapi baiklah, kita langsung “move on” saja dari peristiwa sejarah berdarah tersebut. Era demokrasi yang sudah dinikmati warga negara sekarang ini, pascaruntuhnya rezim Orde Baru, semestinya membuka ruang lebar bagi kebebasan warga negara yang sesungguhnya. Sebagai seorang pendidik tentang warga negara dan kewarganegaraan (civic education), penulis mengutip pemikiran John Locke (1632-1704) tentang hak-hak kodrati seorang manusia, yang kemudian melahirkan konsepsi universal mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) meliputi; hak kebebasan, hak hidup dan hak kepemilikan, begitu pula sebaliknya tidak merusak kebebasan, hak hidup dan hak kepemilikan orang lain. Dan hak-hak tersebut lebih tua usianya ketimbang usia negara ini.

Adalah hak seorang warga negara, untuk diperlakukan secara adil, hak memeroleh rasa aman, hak untuk tidak disakiti dan kebebasan untuk tidak dipersekusi oleh siapapun. Karena semua warga negara itu statusnya setara di depan hukum. Hak-hak dasar inilah yang baru saja dirampas, menimpa Ustaz Abdul Somad (selanjutnya ditulis UAS), ketika melakukan dakwah di komunitas muslim di Bali.

Tulisan ini tak bermaksud memperkeruh suasana yang sudah kembali “tenang”, setelah UAS menuntaskan dakwah dan kembali ke kampungya, Pekanbaru. Tapi sekedar memberikan catatan korektif dan reflektif atas kejadian yang menimpa “dai sejuta jamaah online” tersebut (istilah ini penulis pakai karena aktivitas dakwah UAS menjadi fenomena keummatan yang unik saat ini, dengan pendengar yang sangat banyak, baik langsung dan streaming di media sosial).

Para pelaku persekusi yang merupakan oknum masyarakat dan ormas, diduga telah melakukan teror psikologis dan fisik (karena di video yang beredar di media ada yang membawa senjata tajam) terhadap pribadi UAS dan termasuk jamaah. Penulis haqul yaqin, sesungguhnya karakter asli masyarakat Bali jauh dari kata intoleran dan kasar seperti itu.

    

Alasan para peneror melakukan persekusi terhadap UAS adalah karena UAS dinilai tidak setia terhadap Pancasila dan anti NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Sehingga dia dipaksa menyatakan kesetiaannya kepada Indonesia dengan cara: mencium bendera merah putih, menyanyikan “Indonesia Raya” dan bersumpah di bawah Alquran menyatakan kesetiaannya kepada Indonesia. Inilah informasi yang sudah beredar luas, bisa dibaca di berbagai media online.

Bagi penulis gaya-gaya seperti di atas adalah khas model kelompok vigilante.  Kelompok massa yang suka main hakim sendiri, memonopoli kebenaran dan mengabaikan pluralitas dan hak-hak kewargaan, bahkan merasa sebagai warga negara kelas pertama. Tudingan palsu ditambah mungkin sedang berhalusinasi tentang keindonesiaan UAS.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement