Ahad 10 Dec 2017 22:18 WIB

Radikalisme Merusak Makna Kebangsaan

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir berfoto bersama Rektor Universitas Mercu Buana Jakarta Arissetyanto Nugroho.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir berfoto bersama Rektor Universitas Mercu Buana Jakarta Arissetyanto Nugroho.

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan, gerakan radikalisme di Indonesia merupakan ancaman yang dapat hadir kapan saja, dalam bentuk apapun dan dengan model yang berbeda-beda.  Tujuannya merusak semangat kebangsaan yang sudah lama terbangun di bumi Indonesia.

“Radikalisme bukanlah milik sekolompok agama tertentu saja. Radikalisme itu bisa diperankan oleh kelompok manapun, dari latar belakang agama, sosial dan budaya manapun,” tegas Haedar saat memberikan materi dalam seminar Pemikiran Perguruan Tinggi untuk Kebangsaan di kampus Universitas Mercu Buana (UMB), Jakarta, Jumat (8/12).

Menurut Haedar, gerakan radikalisme adalah perlawanan yang mengarah pada kerusakan, sedangkan kerusakan merupakan perlawanan terhadap sebuah peradaban. Di mana, dia, tatanan kehidupan yang harmonis dan menjunjung tinggi rasa kemanusiaan itu ingin diwujudkan.

Ia menambahkan, para pelaku radikalisme akan mengemas segala bentuk upayanya dalam berbagai isu. Dengan harapan, lanjut Haedar, tujuan kehidupan yang diharapkan kelompok radikalisme itu terwujud.

“Sebagai bangsa Indonesia terdapat landasan fundamental yang sudah terbangun melalui ideologi Pancasila. Maka ideologi itulah yang menyatukan semangat kebangsaan dan harus diterima secara penuh oleh semua elemen bangsa Indonesia,” tegasnya.

Benih radikalisme, sambung dia, merupakan upaya mengganti ideologi Pancasila. Menurutnya, hal itu sama saja ingin mengubah negara Indonesia dengan ideologi lain. Sudah pasti tidak sesuai dengan tuntutan Indonesia yang memiliki keragaman budaya, sosial, suku dan bahasa.

Ketua umum PP Muhammadiyah itu berharap agar perguruan tinggi mampu terus menjaga nilai Pancasila sebagai falsafah bernegara. Karena tanpa Pancasila, maka masa depan Indonesia akan tercerai berai. Hal itu berarti menghapus Indonesia sebagai sebuah negara.

PT Poros Kebangsaan

Dalam kesempatan yang sama, Koordinator Kopertis III, Dr Illah Sailah mengungkapkan, gerakan Boedi Oetomo pada 1908 itu menjadi bukti otentik kegigihan kaum terdidik pada upaya membangun semangat kebangsaan. Sebuah titik awal yang kemudian menjadi kekuatan meraih kemerdekaan sebagai bangsa yang mandiri.

“Belajar dari fakta itulah sudah kewajiban perguruan tinggi terus menjadi poros lahirnya semangat kebangsaan. Melalui berbagai kegiatan pendidikan yang bertumpu pada upaya tersebut,” ujarnya.

Menurut dia, perguruan tinggi (PT) bukan hanya sebagai komunitas terpelajar saja, tetapi juga menjadi tempat dimana lahirnya gagasan kebangsaan itu tumbuh. Bahkan secara berkelanjutan berupaya memperkuat semangat kebangsaan sebagai bagian dari identitas dan pendidikan.

Perguruan tinggi, kata dia, bukan semata institusi yang hanya meningkatkan kemampuan personal. Melainkan pula sebagai infrastruktur yang efektif untuk memproduksi pemikiran luas bagi penguatan makna kebangsaan.

“Jangan biarkan generasi terdidik itu menjadi egois. Berpikir tentang dirinya sendiri. Tetapi didorong untuk berperan aktif bagi kepentingan bangsa dan negara. Itulah spirit kebangsaan sebenarnya,” tegas Illah Sailah.

Menurutnya, upaya yang dilakukan Universitas Mercu Buana melalui berbagai kegiatan seminar ini patutlah ditiru. Apalagi telah pula menerapkan pendidikan bela negara bagi mahasiswa baru, hal tersebut penting bagi membangun semangat kebangsaan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement