Ahad 10 Dec 2017 20:00 WIB

Ketua SPSI: Tudingan LSM Sal RAPP Ngawur

Lahan gambut
Lahan gambut

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) provinsi Riau, Nursal Tanjung menilai tudingan Jikalahari dan beberapa LSM lainnya terhadap Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) sebagai perusak lahan gambut adalah ngawur dan ada kecenderungan pesanan. Mereka dinilai tak paham situasi.

"Mereka tidak paham situasi di lapangan, jikalahari itu harus tahu seperti apa kabupaten Pelalawan sebelumnya dan seperti apa perkembangan kabupaten Pelalawan sekarang ini, berapa PAD nya dan bagaimana dampak ekonomi yang terjadi sejak hadirnya RAPP di Kabupaten Pelalawan, ekonomi begitu kuat, pembangunan terus berjalan," katanya dalam keterangan resmi.

Menurut Tanjung sangat disayangkan sejumlah tudingan lainnya yang sangat menyudutkan dan tidak sesuai dengan etika bahasa yang baik. Saat ini PT RAPP justru berupaya mencari kepastian hukum di Indonesia.

"Jika kemudian sebuah badan usaha atau individu di negara hukum mencari kepastian hukum ini adalah hal yang normal. Tidak kemudian dituding melawan negara, jadi tudingan sejumlah LSM ini sangat bias," tegasnya.

Selain itu, Tanjung mengingatkan agar dipikirkan dampaknya terhadap pekerjanya. Sebab jika peraturan ini dilakukan, maka ratusan ribu pekerja akan kehilangan pekerjaannya, pengangguran akan meningkat, bahkan berujung pada tingkat kriminalitas yang tinggi.

"Ini harus dianalisa dan dievaluasi dampaknya, apa solusinya, ini yang sangat kami sayangkan, jadi silakan langsung ditanyakan kepada masyarakat, apa akibatnya jika penghentian operasional ini terjadi," pungkasnya.

Dalam kesempatan itu Pengurus Ikatan Duta Lingkungan Hidup (IDLH) Kabupaten Pelalawan Riau, Amiruddin Yusuf juga meminta pemerintah untuk lebih arif dalam permasalahan yang menyangkut sosial dan investasi ekonomi di Indonesia, khususnya di Riau.

"Elemen masyarakat yang cinta terhadap lingkungan seharus lebih komit tanpa mengorbankan pihak lain demi keuntungan sepihak dari kepentingan luar, jadi saya harap peraturan yang dibuat pemerintah atas tuntutan segelintir LSM luar itu perlu dipertimbangkan dari berbagai aspek yang riil," ujar Amiruddin.

Ancaman PHK besar besaran itu dikhawatirkan terjadi jika diberlakukannya Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor /MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 tentang PengelolaanLahan Gambut yang merupakan revisi Peraturan Pemerintah (PP) nomor 12 tahun 2015 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI).

Akibat pemberlakuan tersebut terjadi pembatalan Rencana Kerja Usaha (RKU) PT RAPP yang dilakukan oleh KLHK dengan konsekuensi langsung terhadap penghentian seluruh kegiatan HTI di PT RAPP. Sejak dibatalkannya RKU PT RAPP pada 16 Oktober yang lalu seluruh kegiatan HTI di PT RAPP yang meliputi kegiatan penanaman, pembibitan, pemanenan, dan pengangkutan di seluruh area operasi PT RAPP yang terdapat di lima kabupaten di Provinsi Riau yaitu Pelalawan, Kuantan Singingi, Siak, Kampar, dan Kepulauan Meranti telah terhenti.

Akibatnya, sebanyak 4.600 karyawan kehutanan HTI dan juga pengangkutan dirumahkan secara bertahap. Kemudian 1.300 karyawan di bagian pabrik berpotensi dirumahkan dan dilakukan pemutusan kontrak kerja sama dengan mitra dan pemasok lebih dari 10.200 karyawan.

Menariknya, dalam catatatan pengamat lingkungan dan pengajar Pascasarjana Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Dr der Forst Ir Ricky Avenzora sejumlah LSM Lingkungan di Indonesia termasuk Walhi yang kerap bersuara keras ternyata menikmati dana asing.

Bahkan bukan kebetulan jika dana asing tersebut berasal dari negara-negara yang resah melihat keberhasilan industri pulp and paper Indonesia mendominasi pasar kertas dunia yang selama ini dikuasai Eropa.

Padahal hingga saat ini industri pulp and paper Indonesia telah menyumbangkan banyak devisa bagi negara dan menyerap banyak tenaga kerja. Tidak itu saja, industri pulp and paper Indonesia kini mulai mengarah menjadi industri tekstil melalui serat rayon.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement