REPUBLIKA.CO.ID, KARANGASEM -- Sang Giri Tohlangkir - sebutan lain untuk Gunung Agung di Provinsi Bali - selama tiga hari berturut-turut sejak Jumat (8/12) hingga Ahad (10/12) meletus. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) sempat mendeteksi abu vulkanis berbentuk bulatan sebesar biji merica yang disebut lapili.
"Hujan lapili ini terjadi di lereng Gunung Agung, tepatnya di Dusun Temakung, Desa Ban, Kabupaten Karangasem saat erupsi Sabtu sekitar pukul 07.50 WITA," kata Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho, Ahad (10/12).
Hujan lapili, kata Sutopo bukan hal aneh sebab terjadi juga di Gunung Sinabung, Sumatra Utara pada saat erupsi empat tahun lalu. Dalam bahasa vulkanologi, lapili atau lapillus disebut juga tefrit atau material yang jatuh dari udara selama selama letusan gunung berapi dengan diameter rata-rata dua hingga 64 milimeter (mm).
Hujan lapili sifatnya tidak merusak. Kepala Subbidang Mitigasi Gunung Api Wilayah Timur, Devy Kamil Syahbana bulatan-bulatan kecil abu vulkanis ini bisa terbentuk di kolom erupsi karena kondisi kelembaban dan gaya elektrostatis. "Kondisi ini terjadi saat material abu berinteraksi dengan air, termasuk air kawah," kata Devy.
Hujan lapili kerap diasosiasikan dengan letusan freatomagnetik sebuah gunung berapi. Tapi, sebutnya kelembaban ini juga bisa bersumber pada kondisi meteorologis, misalnya abu yang disembutkan berinteraksi dengan awan hujan. Ketika semua kondisi itu telah terpenuhi, maka kumpulan abu vulkanis tadi berubah bentuk menjadi bulatan-bulatan. "Jadi, ini sebetulnya masih abu yang terkumpul menjadi bulatan-bulatan atau granula," katanya.
Sejak pukul 00-12.00 WITA hari ini, Gunung Agung mengeluarkan satu kali letusan berdurasi 80 detik, 20 kali embusan berdurasi 60-150 detik, tujuh kali gempa frekuensi rendah berdurasi 40-100 detik, dan empat kali gempa vulkanik dangkal berdurasi 7-10 detik. Tremor menerus masih terjadi dengan amplitudo satu hingga delapan mm.