REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan yang dibuat bisa dibatalkan dalam 10 hari kerja jika pembuat kebijakan tidak merespons keberatan dari pihak yang mengajukan. Respons atas kebijakan harus dilakukan pejabat berwenang dalam kurun waktu 10 hari karena hal tersebut sudah diatur dan sesuai Pasal 77 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Ahli Administrasi Negara Dian Puji Nugraha Simatupang menyampaikan hal tersebut dalam sidang permohonan pembatalan SK 5322/MenLHK-PHPL/UHP.1/10/2017 tentang Pembatalan Rencana Kerja Usaha (RKU) PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) periode 2010-2019 yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Dian diajukan sebagai ahli dalam sidang permohonan pembatalan SK 5322 yang diajukan oleh RAPP terhadap KLHK. "Jawaban harus diberikan agar ada kepastian hukum atas keputusan tersebut," ujar ahli Administrasi Negara dari Universitas Indonesia itu di Pengadilan Tata Usaha Negara, Jakarta dalam keterangan yang diterima Jumat (8/12).
Dian mengatakan, jika pembuat kebijakan tidak merespons permohonan yang diajukan pihak yang mengajukan keberatan maka hal tersebut akan dianggap tidak sesuai rasa keadilan. Apalagi menyangkut sengketa yang seharusnya diselesaikan tanpa harus melibatkan pihak luar atau eksternal. Oleh karenanya dalam kurun waktu 10 hari keberatan yang diajukan pemohon harus dijawab oleh pihak yang mengeluarkan SK tersebut. "Dalam waktu 10 hari harus dijawab karena intinya agar ada kepastian hukum," ujar Dian tegas.
Dalam sidang permohonan tersebut juga dihadirkan Ahli Tata Negara Lintong Siahaan. Dia juga mengatakan, pemerintah tidak bisa menunda-nunda pelayanan. Oleh karena itu, keberatatan yang diajukan oleh pihak yang berkeberatan atas keputusan atau kebijakan yang dikeluarkan pembuat kebijakan haruslah segera dijawab. "Jawaban dilakukan agar hukum dihargai," ujar Lintong.
Dia menegaskan, jawaban dalam waktu 10 hari juga dilakukan agar penguasa tidak main-main dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. "Jangan sembarangan melayani masyarakat. Ini sangat pedas. Kalau tidak dijawab apa gunanya hukum itu," tegasnya.
Sidang di Pengadilan Tata Usaha Negara ini bergulir setelah KLHK menerbitkan SK Menteri LHK tentang pembatalan keputusan Menteri Kehutanan No. SK.93/VI BHUT/2013 tentang persetujuan revisi Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (RKUPHHK HTI) untuk jangka waktu 10 tahun periode 2010 -2019. Dengan pembatalan tersebut, RAPP mengajukan keberatan karena RKU yang dimiliki masih berlaku hingga 2019. PT RAPP mengajukan permohonan berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pada Pasal 9 (ayat 1) menyebutkan bahwa “Setiap keputusan dan/atau tindakan wajib berdasarkan peraturan dan perundang-undangan dan AUPB (Administrasi Umum Pemerintahan Yang Baik.”
Keberatan yang diajukan RAPP terhadap SK Pembatalan RKU telah lewat dari 15 hari kerja dan sampai permohonan ini diajukan ke PTUN, MenteriLHKH tidak juga menerbitkan keputusan. Pihak PT RAPP berkomitmen pada perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut, dan juga praktik bisnis secara berkelanjutan.
Perusahaan secara penuh bekerja sama dengan Pemerintah dan masyarakat setempat untuk meningkatkan kualitas tata kelola HTI yang baik di lahan gambut secara berkelanjutan sehingga dapat mencegah terjadinya karhutla. Selain itu PT RAPP juga senantiasa menjalankan usahanya berdasarkan izin yang sah dan sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku dan selalu berkonsultasi dengan Kementerian untuk memastikan kegiatan operasional Perusahaan tetap berjalan.
Menanggapi keterangan ahli, Ilyas Arsyad, staf ahli KLHH yang menjadi pihak termohon mengatakan, beberapa faktual telah dilakukan KLHK atas keberatan yang diajukan pemohon atau PT RAPP. Di antaranya meninjau lapangan dalam hal ini hutan yang dijelaskan PT RAPP. Oleh karena itu, dia mengklaim, pelayanan publik telah dilakukan KLHK terkait SK Nomor 5322 yang dimohon dibatalkan oleh PT RAPP. "Namun tidak ada pembahasan yang dilakukan PT RAPP," ujar dia.