REPUBLIKA.CO.ID, JAMBI — Kepala Seksi Pengelola Taman Nasional (SPTN) wilayah III Taman Nasional Berbak dan Sembilang (TNBS) Nurazman mengatakan perburuan menjadi ancaman tertinggi keberlangsungan harimau sumatera (panthrea tigris sumatrae).
"Ancaman yang paling tinggi itu perburuan, karena ada permintaan bagian dari tubuh harimau yang mempunyai nilai jual tinggi, sehingga orang tergiur," kata Nurazman di Jambi, Jumat (8/12).
Dalam menekan aksi perburuan itu, pihaknya bersama tim di lapangan selalu mengintensifkan kegiatan patroli dan sapu jerat di dalam kawasan. "Apapun aksi ilegal termasuk perburuan yang terjadi di dalam kawasan taman nasional tetap dilakukan penanganan dan penindakan," katanya.
Selain perburuan, ancaman lain terhadap keberlangsungan harimau sumatera itu adalah adanya konflik dengan manusia karena habitatnya di dalam kawasan terdegradasi. "Hasil dari identifikasi konflik harimau itu rata-rata terjadi karena habitatnya atau tempat keberlangsusannya di dalam kawasan terdegradasi," katanya menjelaskan.
Selain itu, Nurazman menyebutkan bahwa saat ini populasi harimau sumatera yang merupakan predator puncak di kawasan Taman Nasional Berbak dan Sembilang itu hanya tersisa sekitar 24 ekor. "Hasil indentifikasi melalui kamera trap itu, hanya tersisa 24 ekor, diantaranya 19 ekor di Berbak dan selebihnya di Sembilang," kata dia.
Selain itu, dia mengatakan, Taman Nasional Berbak-Sembilang yang membentang satu landscape di pesisir timur Sumatera (Jambi-Sumsel) itu saat ini masih keterbatasan jumlah polisi hutan yang menjaga kawasan taman nasional tersebut.
"Tentu jumlah petugas untuk patroli masih kurang, saat ini hanya ada 11 polisi hutan untuk lima resor, artinya satu resort dijaga dua polisi hutan, idealnya satu resor itu minimal ada enam polisi hutan," katanya menambahkan.