REPUBLIKA.CO.ID, KULONPROGO -- Kepolisian Resor Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta, hingga Selasa (5/12) malam belum membebaskan 15 mahasiswa yang diamankan dalam aksi solidaritas penolakan pengosongan lahan New Yogyakarta International Airport (NYIA) bersama warga penolak bandara.
Namun, saat mau dikonfirmasi, Polres Kulonprogo AKBP Irfan Rifai mengatakan dirinya baru akan melakukan rapat kecil dan melihat data. "Sebentar, kami rapat kecil dulu," kata Irfan sambil berlalu saat akan dimintai informasi wartawan.
Sebelumnya, Polres Kulonprogo mengamankan 15 mahasiswa di lokasi pembersihan lahan proyek New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kecamatan Temon. "Siang tadi kita mengamankan 12 orang, sore ini 3 orang, seluruhnya aktivis solidaritas berstatus mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi," kata Kasat Reskrim Polres Kulon Progo AKP Dicky Hermansyah.
Sebanyak 12 mahasiswa diamankan siang hari di salah satu rumah warga di Desa Palihan, dan 3 orang diamankan sore tadi di salah satu rumah di Desa Glagah. Ia mengatakan ke-15 mahasiswa tersebut diamankan karena dianggap menghalangi proses pembersihan lahan calon lokasi pembangunan NYIA.
"Mereka menghalangi proses land clearing PT Angkasa Pura I, jadi kita amankan di Mapolres. Diamankan sementara, bukan ditangkap. Setelah diamankan ini kita data dan kita minta kembali ke rumah atau kosnya," katanya.
Koordinator Pantauan Lapangan Aliansi Tolak Bandara Kulonprogo Heronemus Heron mengecam tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pihak kepolisian dalam mengamankan rekan mereka. Menurut Heron, seharusnya aparat tidak mendukung para investor NYIA, dan tidak berlaku sewenang-wenang, bahkan sampai melakukan pemukulan kepada rekan mereka.
Heron dan sejumlah rekan aliansi, sudah berada di kediaman warga penolak sejak 27 November 2017. Heron juga menilai, mereka tidak perlu mengajukan izin kepada Polres, atau sejumlah pihak lain, karena ketua Rukun Tetangga dan warga PWPP-KP telah mengetahui keberadaan mereka di sana.
Disinggung soal alasan aliansi membela warga penolak, ia menyatakan karena wilayah pembangunan NYIA merupakan lahan produktif. Ketika ada warga yang tidak mau lahannya dijual, maka harus dihormati. Penolakan dari warga, adalah sebuah kekuatan, dan mereka tetap tidak boleh digusur. "Ketika tidak ada lahan, mau kerja di mana? Lebih penting dari itu, ada ikatan sejarah dan tanah," katanya.