REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra, Iwan Sumule menyatakan pendapat Kapolri Jenderal Tito Karnavian dalam menyikapi kasus Viktor Laiskodat terlihat seperti seorang politikus dibandingkan penegak hukum. Hal ini lantaran Kapolri pun dinilai ikut-ikutan mengaitkan kasus dugaan pidana dengan etik.
"Kapolri semakin menunjukan kelasnya sebagai politikus," ungkap Iwan kepada Republika.co.id, Kamis (30/11).
Sebagai pimpinan penegak hukum, terang Iwan, harusnya Kapolri fokus dalam persoalan penegakkan hukum sehingga dapat memberikan rasa keadilan kepada rakyat. Bukan menilai lalu memutuskan mengusut dugaan pidana setelah mendengar putusan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) atas dugaan etik yang dilanggar oleh Viktor Laiskodat selaku anggota DPR tersebut.
"Yang dapat memutuskan dan menilai seseorang itu melakukan tindak pidana atau tidak adalah hakim pengadilan, bukan institusi kepolisian yang dipimpin Jenderal Tito," tegasnya.
Dalam amanah UUD 1945 Pasal 27 Ayat 1 berbunyi, Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Oleh karena itu terang Iwan, semua warga negara tanpa kecuali harus menjunjung hukum itu sendiri.
Begitupun dalam kasus Viktor, ujar Iwan, sebagai seorang anggota DPR memang telah diberikan kebebasan untuk berbicara dengan hak imunitas yang melekat kepada anggota dewan. Hanya saja ungkapnya, hak imunitas tersebut tidak lantas dapat membuat seorang anggota DPR tersebut berbicara dan berbuat sesuka hatinya apalagi yang mengarah pada unsur pidana.
"Tapi bukan berbicara sesukanya, apalagi yang memenuhi unsur pidana, karena sebagai pejabat negara dan public harusnya dapat menjaga ucapannya baik di dalam gedung parlemen maupun di luar gedung parlemen," terang Iwan.
Oleh karena Politikus Partai Gerindra ini menilai bila kepolisian memilih mempertimbangkan putusan MKD dalam kasus ujaran kebencian yang dilakukan Victor Laiskodat ini, maka kredibilitasnya sebagai institusi kepolisian sedang diuji dan dipertaruhkan. Alasannya karena polisi lebih terlihat sebagai alat yang digunakan oleh penguasa dibandingkan sebagai penegak hukum yang bisa memberikan keadilan.
"Terhadap warga negara lain, pihak kepolisian bertindak sangat responsif, bahkan bertindak super cepat. Ustadz Alfian Tanjung, Asma Dewi, Buni Yani, langsung ditangkap dan dipenjarakan," ujar Iwan.
Kendati demikian, Iwan masih berharap agar kepolisian fokus terhadap proses penegakan hukum dan tidak menjadi alat penguasa. Dengan begitu masyarakat juga tidak akan meragukan kepolisian sebagai penegak hukum.
"Jangan menjadikan institusi kepolian menjadi alat penguasa dan dalam menjalankan fungsi penegakan hukum sekiranya dapat memberikan keadilan kepada seluruh rakyat Indonesia," ucap dia.