Rabu 29 Nov 2017 05:23 WIB

Swasta Perlu Dilibatkan dalam Pembangungan Perdesaan

Seorang petani menunjukkan biji kopi Arabika yang dipanen di Desa Jabal Antara, Kecamatan Nisam Antara, Aceh Utara, Aceh, Kamis (19/10). Menjelang masa panen serentak, permintaan kopi gayo kualitas unggulan untuk pasar lokal dan nasional terus mengalami peningkatan dengan harga ditingkat penampung naik Rp 90ribu hingga Rp.180 ribu per kilogram.
Foto: Rahmad/Antara
Seorang petani menunjukkan biji kopi Arabika yang dipanen di Desa Jabal Antara, Kecamatan Nisam Antara, Aceh Utara, Aceh, Kamis (19/10). Menjelang masa panen serentak, permintaan kopi gayo kualitas unggulan untuk pasar lokal dan nasional terus mengalami peningkatan dengan harga ditingkat penampung naik Rp 90ribu hingga Rp.180 ribu per kilogram.

REPUBLIKA.CO.ID, BANTUL – Banyak kalangan mengkhawatirkan dominasi swasta dalam proses percepatan pembangunan kawasan perdesaan. Padahal keterlibatan swasta dalam upaya percepatan pembangunan kawasan perdesaan telah diatur jelas dalam aturan perundangan.

“Berbagai kebijakan percepatan pembangunan kawasan perdesaan di masa lalu tidak bisa berjalan dengan baik karena kesulitan saat melakukan pemasaran. Hal itu terjadi karena belum ada kejelasan relasi kalangan swasta sebagai mitra desa,” ujar Pakar Sosiologi Perdesaan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Ivanovich Agusta, di Bantul, kemarin.

Ivan menjelaskan diakui atau tidak program percepatan ekonomi kawasan perdesaan membutuhkan peran swasta. Dia mencontohkan bagaimana program pengembangan kawasan Agropolitan di masa lalu yang sulit berkembang karena kesulitan dalam proses pemasaran. Hal itu terjadi karena saat itu tidak disebutkan dengan jelas keterlibatan swasta dalam program tersebut.

“Di kebijakan lama pengembangan kawasan perdesaan hampir sulit berjalan karena tidak ada swasta. Saya mencontohkan kawasan Agropolitan di Kabupaten Cianjur Jawa Barat yang kesulitan berkembang karena tidak didukung dengan keterlibatan pihak swasta. Akhirnya pemasarannya sulit, dukungan modal sulit, hingga tidak adanya pelatihan skema bisnis bagi para pelakunya,” urainya melalui rilis yang dikirimkan kementrian Kemendes PDT kepada Republika.co.id.

Dia mengakui memang sempat muncul resistensi di sebagian aktivis perdesaan terkait peran swasta dalam percepatan pembangunan perdesaan yang digagas oleh Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi seperti Produk Unggulan Kawasan Perdesaan (Prukades) maupun Badan Usaha Milik Desa (Bumdesa).

Sebagian aktivis itu mengkhawatirkan dominasi swasta dalam kedua program tersebut. Padahal, menurutnya ada batasan jelas mengenai keterlibatan swasta baik dalam pengelolaan Bumdesa maupun Prukades.

“Saya menilai ada batasan jelas mengenai keterlibatan swasta yakni pembagian saham di PT Mitra Bumdes yang mana pemerintah masih memegang saham dominan. Selain itu aturan Kementerian Keuangan dengan jelas membatasi jika swasta yang bisa terlibat di desa hanyalah mereka yang bergerak di pemasaran dan mereka yang berperan sebagai offtaker untuk membeli produk desa dengan segala risikonya,” ujarnya.

Lebih jauh dia menilai saat ini pembangunan kawasan perdesaan sudah berada di jalur yang benar. Dalam tiga tahun terakhir ini misalnya berbagai infrastruktur layanan sosial dasar telah berhasil dibangun dengan baik. Ratusan ribu kilometer jalan, ratusan gedung pendidikan anak usia dini (PAUD) dan Posyandu, serta sarana kesehatan lainnya telah terbangun di seluruh pelosok nusantara. Kondisi ini berimbas pada kian menurunnya jumlah desa dengan status tertinggal, meningkatkan jumlah desa berstatus menengah dan mandiri.

“Berdasarkan Indeks Pembangunan Desa (IPD) yang dirilis oleh Bappenas terjadi perubahan status desa yakni desa tertinggal turun 17%, menengah naik 10%, mandiri naik 7%. Saya menduga jika tahun depan dilakukan sensus pasti layanan sosialnya meningkat dua kali lipat dibandingkan 2014,” katanya.

Berdasarkan hal itu, kata Ivanovich, tepat jika Kemendesa PDTT saat ini mulai mengarahkan fokus pembangunan di kawasan perdesaan pada peningkatan kapasitas ekonomi. Upaya menggenjot program unggulan kawasan perdesaan maupun Bumdes dipandang sebagai langkah strategis untuk mengurangi kemiskinan di kawasan perdesaan.

“Saat ini angka kemiskinan masih di angka 14%. Tetapi jika tahun depan fokus ke ekonomi, saya optimistis angka kemiskinan bisa turun,” katanya.

BANTUL – Banyak kalangan mengkhawatirkan dominasi swasta dalam proses percepatan pembangunan kawasan perdesaan. Padahal keterlibatan swasta dalam upaya percepatan pembangunan kawasan perdesaan telah diatur jelas dalam aturan perundangan.

“Berbagai kebijakan percepatan pembangunan kawasan perdesaan di masa lalu tidak bisa berjalan dengan baik karena kesulitan saat melakukan pemasaran. Hal itu terjadi karena belum ada kejelasan relasi kalangan swasta sebagai mitra desa,” ujar Pakar Sosiologi Perdesaan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Ivanovich Agusta, di Bantul, kemarin.

Ivan menjelaskan diakui atau tidak program percepatan ekonomi kawasan perdesaan membutuhkan peran swasta. Dia mencontohkan bagaimana program pengembangan kawasan Agropolitan di masa lalu yang sulit berkembang karena kesulitan dalam proses pemasaran. Hal itu terjadi karena saat itu tidak disebutkan dengan jelas keterlibatan swasta dalam program tersebut.

“Di kebijakan lama pengembangan kawasan perdesaan hampir sulit berjalan karena tidak ada swasta. Saya mencontohkan kawasan Agropolitan di Kabupaten Cianjur Jawa Barat yang kesulitan berkembang karena tidak didukung dengan keterlibatan pihak swasta. Akhirnya pemasarannya sulit, dukungan modal sulit, hingga tidak adanya pelatihan skema bisnis bagi para pelakunya,” urainya melalui rilis yang dikirimkan kementrian Kemendes PDT kepada Republika.co.id.

Dia mengakui memang sempat muncul resistensi di sebagian aktivis perdesaan terkait peran swasta dalam percepatan pembangunan perdesaan yang digagas oleh Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi seperti Produk Unggulan Kawasan Perdesaan (Prukades) maupun Badan Usaha Milik Desa (Bumdesa).

Sebagian aktivis itu mengkhawatirkan dominasi swasta dalam kedua program tersebut. Padahal, menurutnya ada batasan jelas mengenai keterlibatan swasta baik dalam pengelolaan Bumdesa maupun Prukades.

“Saya menilai ada batasan jelas mengenai keterlibatan swasta yakni pembagian saham di PT Mitra Bumdes yang mana pemerintah masih memegang saham dominan. Selain itu aturan Kementerian Keuangan dengan jelas membatasi jika swasta yang bisa terlibat di desa hanyalah mereka yang bergerak di pemasaran dan mereka yang berperan sebagai offtaker untuk membeli produk desa dengan segala risikonya,” ujarnya.

Lebih jauh dia menilai saat ini pembangunan kawasan perdesaan sudah berada di jalur yang benar. Dalam tiga tahun terakhir ini misalnya berbagai infrastruktur layanan sosial dasar telah berhasil dibangun dengan baik. Ratusan ribu kilometer jalan, ratusan gedung pendidikan anak usia dini (PAUD) dan Posyandu, serta sarana kesehatan lainnya telah terbangun di seluruh pelosok nusantara. Kondisi ini berimbas pada kian menurunnya jumlah desa dengan status tertinggal, meningkatkan jumlah desa berstatus menengah dan mandiri.

“Berdasarkan Indeks Pembangunan Desa (IPD) yang dirilis oleh Bappenas terjadi perubahan status desa yakni desa tertinggal turun 17%, menengah naik 10%, mandiri naik 7%. Saya menduga jika tahun depan dilakukan sensus pasti layanan sosialnya meningkat dua kali lipat dibandingkan 2014,” katanya.

Berdasarkan hal itu, kata Ivanovich, tepat jika Kemendesa PDTT saat ini mulai mengarahkan fokus pembangunan di kawasan perdesaan pada peningkatan kapasitas ekonomi. Upaya menggenjot program unggulan kawasan perdesaan maupun Bumdes dipandang sebagai langkah strategis untuk mengurangi kemiskinan di kawasan perdesaan.

“Saat ini angka kemiskinan masih di angka 14%. Tetapi jika tahun depan fokus ke ekonomi, saya optimistis angka kemiskinan bisa turun,” katanya.

sumber : Rilis Kemendes PDT
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement