Senin 27 Nov 2017 00:31 WIB

Jangan Mau Menjadi Guru!

Satriwan Salim
Foto: Republika/Edi Yusuf
Kampus UPI Bandung

Bagi para sarjana kependidikan yang lulus dari kampus LPTK, bertitel S.Pd tentu merasa tidak adil jika mereka mesti kuliah kembali selama 1 tahun. Kampus penyelenggara PPG pun adalah LPTK itu juga. Dosennya itu-itu juga. Hanya pendalaman di mata kuliah pendidikan dan pedagogis khusus. Pertanyaan sarkastiknya adalah, “Ngapain aja mereka para mahasiswa pendidikan itu kuliah di IKIP selama 4 tahun?”

Memang pemerintah berargumen jika guru adalah profesi terbuka. Pemerintah menyebut contoh profesi dokter. Guru dan dokter adalah sama-sama profesi. Seseorang jika ingin menjadi dokter, kuliah selama 4 tahun lantas berhak menyandang titel S.Ked. Tapi, apakah langsung menjadi dokter profesional? Jawabannya tidak. Sebab para S.Ked mesti mengikuti program magang (sering disebut Koas) di rumah sakit selama 2 tahun. Selesai pendidikan program Koas tersebut, para S.Ked tadi lulus wisuda kedua dan berhak menyandang titel dokter (dr).

Tapi persoalannya, kenapa para SPd calon guru merasa diperlakukan tidak adil? Karena semua titel kesarjanaan berhak menjadi guru. Tapi untuk menjadi dokter adalah profesi yang hanya bagi lulusan Fakultas Kedokteran dengan titel S.Ked. Begitu pula advokat adalah profesi yang diperoleh melalui serangkaian program pendidikan profesi advokat, yang hanya boleh diikuti oleh lulusan Fakultas Hukum dengan titel SH. Apakah seorang dengan titel SPd berhak mengikuti pendidikan profesi dokter dan advokat? Jawabannya tidak!

Nah, di situlah dirasa letak diskriminatifnya program PPG bagi para sarjana kependidikan. Sudahlah kuliah kependidikan (pedagogis/khusus) di kampus LPTK selama 4 tahun, tetapi mesti ikut program PPG selama 1 tahun lagi. Baik lulusan SPd maupun PPG sama-sama memberikan kewajiban melakukan penelitian dan wisuda. Jadi penelitiannya 2 kali, wisudanya pun 2 kali.

Jadi, sekarang ini untuk menjadi guru itu memang taklah mudah. Proses pendidikannya lama, berliku-liku dan “penuh paradoksal”. Lulus PPG berhak menyandang titel Gr, kemudian menganggur, karena belum diterima mengajar di sekolah. Ikut tes CPNS untuk guru, ternyata saingannya sangat banyak, bahkan teman sendiri.

Nasib (calon) guru

Bagi Gr yang mencoba melamar menjadi guru swasta misalnya, setelah diterima lamarannya di sebuah sekolah, lalu mengajar menjadi guru profesional. Tapi mereka para guru-guru muda (yang katanya sudah profesional) ini masih menemukan tantangan lagi, liku-liku nasib dan kesejahteraannya. Mereka berperang dengan perutnya. Karena gajinya jauh dari kata sejahtera.

Istilah (atau mungkin strata) bagi para guru di Indonesia ini pun beragam. Ada namanya guru PNS. Pasti pahamlah bagaimana nasibnya, apalagi di Jakarta dan kota-kota besar. Insya Allah sejahtera. Ada namanya guru “honor daerah” (honda), digaji oleh pemerintah daerah, umumnya jauh dari kata sejahtera (bergantung kemampuan daerah).

Ada namanya guru “P3K” (guru pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja), alias guru kontrak dengan pemerintah daerah. Namanya saja sudah horor. Seolah-olah istilah bagi guru yang satu ini, ingin mengatakan bahwa mereka memang harus diberikan pertolongan pertama, karena kecelakaan (menjadi guru). Miris memang. Untuk istilahnya saja sudah tidak berharga.

Ada namanya guru honor di sekolah swasta. Ini juga gaji dan tunjangannya jauh dari kata manusiawi. Masih banyak di daerah guru yang digaji 200 ribu-300 ribu sebulan, misalnya di pelosok  NTT. Statusnya honor bahkan kontrak dengan yayasan. Sangat minim proteksi.

Coba lihat saja para profesi dokter, apakah ada mereka yang digaji dengan tidak manusiawi? Mungkin ada, tapi sangat sedikit jumlahnya. Karena rumah sakit atau klinik pasti membutuhkan dokter. Setidaknya membuka praktik di rumahnya. Penulis tak pernah mendengar jika ada dokter yang menganggur! Tapi, guru yang menganggur banyak!

Setelah membaca tulisan reflektif di atas, mungkin para pembaca yang tadinya ingin menjadi guru, mulai ragu-ragu. Bukan berniat menakuti, tapi sekedar mengangkat realita. Guru-guru masih bergelut dengan kesejahteraannya, sertifikasi yang tak kunjung cair berbulan-bulan. Belum lagi bicara perangai siswa, mesti sabar menanganinya. Jika tidak KPAI, Komnas HAM bahkan pengadilan yang akan bicara.

Kurikulum yang berganti karena menteri pun berganti. Uji kompetensi yang sarat distorsi. Atau politisasi guru dalam Pilkada. Guru yang terus-terusan dimobilisasi untuk salah satu kandidat, demi jabatan dan promosi menjadi kepala sekolah dan pengawas.

Jangan mau menjadi guru! Walaupun ini bernada satire, tapi begitulah faktanya. Berat rasanya, mulai dari hulu sampai hilirnya. Namun, bagi mereka yang ingin dipuja-puja sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, silakan mencoba menjadi guru.

Atau bagi mereka, yang dengan melihat anak didiknya telah sukses, suatu hari datang ke sekolah menemui dan mencium tangannya. Inilah hakikat kebahagiaan sejati, katanya. Silakan mencoba menjadi guru.

Karena hanya itulah penghargaan yang sesungguhnya sempurna, melampaui uang sertifikasi dan tunjangan lainnya. Bagi yang sudah kepalang menjadi guru, tak usahlah beriba hati! Toh masyarakat dan media sosial tidak lupa. Setidaknya setiap tanggal 25 November tiap tahunnya, bahwa mereka menjadi seperti sekarang adalah karena berkat jasa para gurunya.

Selamat hari guru!

*) Pengajar Labschool Jakarta-UNJ/Wasekjen FSGI, email: [email protected]

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement