Sabtu 25 Nov 2017 08:24 WIB

Hari Guru Nasional: Guru yang Merdeka

Ilustrasi guru agama.
Foto: Republika
Ilustrasi guru agama.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asep Sapa’at, Direktur Sekolah Guru Indonesia (2012-2014)/Litbang di Klinik Pendidikan MIPA

Merdeka! Pekikan yang begitu menggetarkan. Beda zaman, beda nuansanya. Maka itu, pemaknaan kata merdeka menyesuaikan konteks kekinian. Bagi koruptor, merdeka itu tobat dari perilaku merampok uang negara.

Siap hidup sederhana, merdekanya para pejabat negara. Lantas, apa makna merdeka bagi guru?

Pada akhir abad ke-19, saat Indonesia memperjuangkan kemerdekaan, guru kurang dihargai dibandingkan posisi administratif di pemerintahan Hindia Belanda. Itulah faktanya. Tapi mereka tak tinggal diam dan meratapi nasib.

Mereka tegar mengemban misi mulia, mencerdaskan saudara sebangsa setanah air. Tuntutan dan kritik guru menghapuskan diskriminasi pendidikan pada zaman penjajahan dilancarkan lewat ‘dunia kata’ melalui penerbitan majalah pendidikan.

Di antaranya, Soeleoeh Pengadjar di Probolinggo (terbit pertama tahun 1887) dan Taman Pengadjar di Semarang (terbit tahun 1899 - 1914).

Menjelang akhir abad ke-19, klub Mufakat Guru, perkumpulan guru paling berpengaruh terbentuk di berbagai kabupaten dan kawedanan di Jawa.

Perkumpulan ini lahir dengan satu tujuan pokok, membuka jalan bagi guru untuk bersatu dan berdiskusi mengenai permasalahan dan isu kemajuan pendidikan, kehormatan, dan keberhasilan dalam hidup (Nasution, 2001).

Para guru gigih melahirkan 'bangsawan pikiran'. Siapa mereka? Mereka adalah orang-orang yang menguasai pengetahuan dan memiliki pencapaian hidup dari kalangan priyayi rendahan dan nonbangsawan.

Tanda baru kehormatan sosial dan bentuk perlawanan terhadap hegemoni 'bangsawan usul' yang diciptakan penjajah.

Sejarah mencatat, 'kaum terpelajar' atau 'pemuda pelajar' pemain penting yang berkontribusi merebut kemerdekaan.

Tak terbantahkan, di balik lahirnya kaum terpelajar, ada peran guru yang amat strategis memainkan lakonnya. Selesaikah perjuangan guru di hari ini? Tidak!

Bung Karno tegas berujar, "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah. Akan tetapi, perjuanganmu akan jauh lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri". Pernyataan ini melintas zaman.

Realitasnya amat kontekstual dengan potret perjuangan guru di hari ini. Harkat guru jatuh di titik nadir. Itu terjadi sejak bangsa ini berdaulat. Tata kelola guru tak pernah menjadi agenda penting dalam program pembangunan.

Apa buktinya? Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan dibubarkan, itu satu bukti. Bukti lain, munculnya gelar pahlawan tanpa tanda jasa, untuk apa dan siapa gelar itu? Sungguh gelar yang merendahkan profesi guru.

Pesannya tersirat, jadi guru itu mulia meski tanpa tanda jasa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement