REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bareskrim Polri menyatakan tidak bisa menindak lanjuti kasus yang menyeret Ketua Fraksi Nasdem di DPR RI, Viktor Laiskodat. Polisi beralasan Victor memiliki hak imunitas sebagai anggota DPR.
Pakar Hukum Tata Negara Asep Warlan menyarankan agar pelapor membuat gugatan dengan melakukan upaya praperadilan. Namun sebelum itu, terangnya, harus dipastikan terlebih dahulu apakah polisi sudah keluarkan surat perintah penghentian penyelidikan (SP3). "Saya tidak tahu apakah ada SP3 atau belum, kalau ada SP3-nya gugat (melalui) praperadilan bahwa penghentian penyidikan itu tidak sah," kata Asep kepada Republika.co.id, Selasa (21/11).
Menurut Asep, jika alasan tidak bisa melanjutkan pengusutan dugaan pidana dalam pidato Viktor lantaran hak imunitas sebagai anggota DPR, ini pendapat yang keliru. Hak imunitas memang melekat kepada anggota dewan namun tidak kemudian membuat anggota dewan tersebut menjadi kebal hukum sehingga menyalahgunaan hak imunitasnya.
Hak imunitas, terang Asep, hanya berlaku saat anggota DPR tersebut berada di dalam ruangan sidang dan membahas perihal fungsi-fungsi kedewanan. Seperti mengkaji kebijakan pemerintah, membahas perihal anggaran, maupun soal pengawasan.
Di luar itu, menurutnya, hak imunitas tidak melekat dan tidak bisa melindungi siapa pun anggota DPR. Maka aneh menurutnya ketika kemudian alasan kepolisian tidak bisa menindaklanjuti penyelidikan lantaran hak imunitas dan justru menyerahkan kasus kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
"Dia tidak bisa dilindungi hak imunitas, tidak bisa berlindung di balik imunitas, pasti tidak bisa. (Jadi) Itu keliru, dia (Victor, Red) kan mengucapkan ujaran kebencian pada saat berpidato," jelasnya.
Diketahui, polisi menerima laporan atas nama Viktor sejak awal Agustus 2017 lalu. Victor dilaporkan atas pidatonya yang kontroversial saat berada di NTT dan menyebar di dunia maya.
Dalam video berdurasi 02.05 menit itu Viktor menyebutkan nama-nama partai yang dianggapnya mendukung negara khilafah berdiri di Indonesia karena menolak kebijakan pemerintah atas penerbitannya Perppu ormas kala itu. Lantaran pidatonya ini, Victor kemudian dilaporkan karena dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi Transaksi Elektronik dan Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45 ayat (2), Pasal 4 dan 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.