Selasa 21 Nov 2017 20:50 WIB

Letusan Gunung Agung Masih Letusan Pembuka

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: Ratna Puspita
Gunung Agung memuntahkan abu vulkanik di Karangasem, Bali, (21/11).
Foto: EPA-EFE/ BNPB
Gunung Agung memuntahkan abu vulkanik di Karangasem, Bali, (21/11).

REPUBLIKA.CO.ID, KARANGASEM -- Erupsi Gunung Agung pada Selasa (21/11) masih berupa letusan pembuka atau jenis freatik. Ini biasanya terjadi akibat adanya uap air bertekanan tinggi yang terbentuk seiring pemanasan air bawah tanah atau air hujan yang meresap ke dalam tanah di kawah, kemudian bersentuhan langsung dengan magma.

Letusan freatik yang terjadi di gunung tertinggi di Pulau Bali sekitar pukul 17.35 WITA itu disertai asap, abu, dan material yang ada di dalam kawah. Kepala Pos Pantau Gunung Agung di Rendang, Kabupaten Karangasem, Dewa Mertayasa, mengatakan letusan freatik ini sebagai dampak dari semakin naiknya magma ke permukaan kawah sejak 22 November 2017.

"Panasnya batuan dan tingginya curah air hujan di sekitar kawah sejak itu memicu asap pekat plus debu material sekitar kawah. Tingkat kegempaan saat ini belum mengindikasikan terjadinya letusan magmatik," kata Mertayasa, Selasa (21/11).

Mertayasa mengatakan letusan seperti ini ke depannya diperkirakan akan sering terjadi. Meski demikian, sifatnya masih eksternal, belum magmatik. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) juga belum berencana menaikkan kembali status Gunung Agung ke level empat atau waspada. Status Gunung Agung diturunkan ke level tiga atau siaga sejak 29 Oktober lalu.

Kepala Pusat Data, Informasi, dan Hubungan Masyarakat di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho mengatakan letusan freatik sulit diprediksi karena bisa terjadi tiba-tiba, bahkan tanpa disertai tanda berupa meningkatnya aktivitas kegempaan. Sejumlah gunung berapi di Indonesia bahkan meletus freatik saat status gunung masih di level dua atau waspada, seperti letusan Gunung Dempo, Dieng, Marapi, Gamalama, dan Merapi.

"Tinggi letusan freatik juga variatif bergantung kekuatan uap airnya. Ada yang mencapai tiga ribu meter," kata Sutopo.

PVMBG mengamati asap bertekanan sedang dengan warna kelabu tebal yang tingginya maksimum 700 meter di atas puncak kawah Gunung Agung. Sutopo mengatakan letusan freatik biasanya berdampak terjadi hujan abu, pasir, atau kerikil di sekitar gunung.

"Letusan freatik tidak terlalu membahayakan dibanding letusan magmatik," katanya.

Letusan freatik, Sutopo mengatakan, mengawali episode letusan sebuah gunung api. Gunung Sinabung mengalami letusan freatik sepanjang 2010 hingga awal 2013, baru mengalami letusan magmatik.

Pemahaman masyarakat tentang gunung berapi mash terbatas. Sutopo mengimbau warga Bali tidak panik dan tetap mematuhi rekomendasi PVMBG, khususnya imbauan menjauhi area dalam radius enam hingga 7,5 kilometer.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement