Senin 20 Nov 2017 05:26 WIB

Novel dan Komitmen Antikorupsi Presiden

Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian menunjukkan sketsa wajah terduga pelaku penyerangan terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan (Ilustrasi)
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian menunjukkan sketsa wajah terduga pelaku penyerangan terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Fanani *)

“Berani tak mengurangi umur, dan takut tak akan menambahnya. Jadi jangan pilih takut karena membuat Anda tak berguna”

Novel Baswedan

Sudah genap tujuh bulan penyiraman air keras terhadap Novel berlalu, tetapi upaya penyelidikan atas kasusnya nyaris tak membuahkan progres baru. Polisi berdalih penyerangan tersebut rapi dan terencana karena itu tak mudah untuk mengusutnya.

Sedari awal Novel sudah menunjukkan sinyal tak percaya. Ia sangsi pihak kepolisian mau mengungkap pelaku teror terhadapnya. Insting penyidik Novel mencium adanya keterlibatan aktor berpengaruh, bahkan disinyalir ada jenderal aktif yang turut terlibat di situ. Di kalangan aktivis antikorupsi beredar informasi adanya oknum polisi yang menghapus sidik jari pada gelas bekas wadah air keras dengan tujuan merusak alat bukti. Dan kelambanan polisi, seolah menguatkan dugaan kebenaran premis-premis ini.

Ala mafia

Di mata publik, Novel adalah legenda dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Sebagai legenda, posisinya bermakna taksa. Ia pahlawan sekaligus musuh, penyelamat sekaligus objek kutuk. Ia pahlawan bagi anak bangsa yang masih waras nalar dan nuraninya, anak bangsa yang mendambakan negerinya bebas dari korupsi yang masih menjadi hambatan utama bagi tegaknya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tapi, ia juga musuh bagi para pejabat eksekutif, politisi, pengusaha, dan siapa pun bandit korup yang menggerogoti kekayaan negara demi kepentingan pragmatik pribadi dan kelompoknya.

Ibarat sepak bola modern, Novel dan penyidik lempang lainnya adalah deep lying playmaker KPK. Posisinya unik, ia jangkar pertahanan sekaligus jantung permainan. Ia menjadi benteng pertama sekaligus kreator awal serangan-serangan mematikan KPK. Sebagai playmaker, setiap jengkal langkah Novel adalah ancaman serius bagi koruptor di luar sana. Karena itu, wajar saja jika ia menjadi target yang harus dilumpuhkan dalam berbagai serangan balik koruptor kepada KPK.

Dalam berbagai kesempatan, aktivis antikorupsi Dahnil Anzar Simanjuntak menyebutnya sebagai 'Orang Paling Bernyali'. Dengan modal tauhid yang menghunjam dilubuk hati, integritas Novel tak terbeli.

Nyali Novel terpotret dalam satu kalimat monumental yang sering ia sampaikan, “Berani tak mengurangi umur, dan takut tak menambahnya. Jadi jangan pilih takut, karena membuat anda tak berguna”

Bagi Novel, takut bukanlah pilihan. Siapapun yang berani mengemplang uang negara, ia adalah musuh yang harus dikandangkan. Tak peduli apapun jabatanya, tak peduli seberapa besarpun kuasa ditanganya.

Novel adalah penyidik yang memimpin penyidikan berbagai kasus besar yang melibatkan nama-nama berpengaruh di negeri ini. Ia memimpin penggeledahan markas di Korlantas POLRI dalam kasus simulator SIM yang melibatkan Irjend Djoko Susilo, Kakorlantas POLRI waktu itu. Terakhir, Novel membongkar mega skandal korupsi e-KTP yang berpotensi menjerat beberapa nama elit, termasuk Ketua Partai Golkar sekaligus Ketua DPR RI, Setya Novanto.

Dengan latar tersebut, sulit rasanya untuk membantah bahwa teror terhadap Novel berkait erat dengan aktivitasnya dalam ikhtiar memerangi wabah korupsi di negeri ini. Tak perlu logika njelimet untuk membacanya. Cukup dengan nalar yang waras dan nurani yang siuman. Logika awam saja bisa mencium aroma politik yang begitu menyengat dibalik kasus ini.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa politik di negara kita didikte oleh kuasa kapital. Politik telah lama dibajak dari tujuan luhurnya. Ia bukan lagi menjadi jalan untuk mewujudkan hidup yang berkeutamaan. Politik kini menjadi diksi yang bermakna pleonistis, menjadi sekadar muslihat untuk memuaskan hasrat rakus dari para pemilik modal. Mereka menjelma menjadi sosok digdaya dan nyaris tak tersentuh hukum. Mereka adalah para mafia, pengusa negeri ini yang sebenarnya. Novel mengusik zona nyaman mereka, karena itu ia dihajar dan berkali-kali coba ‘disingkirkan’.

Teror keji terhadap Novel adalah tantangan nyata terhadap negara. “Jangan coba-coba ganggu barang gue”, kurang lebih demikian pesannya. Tindakan tersebut tentu saja teramat keji, biadab, dan sama sekali tak berperikemanusiaan. Tapi di dunia mafia, kebiadaban adalah hal yang biasa. Manusiawi bukanlah batasan etis mereka. Dunia mafia adalah dunia dimana kemanusiaan dilucuti. Penganiayaan, pembunuhan, dan kekejian lain adalah sesuatu yang lumrah, wajar adanya. Didunia mafia, kemanusiaan dibunuh, dan menjadi manusiawi itu sendiri adalah kematian bagi eksistensi mereka.

Kini tindakan tersebut dipertontonkan secara gamblang, kekejian yang teralienasi di dunia mafia itu diekspor ke ruang publik kita, menjadi alat untuk mengancam negara. Maka menjadi terang, jika negara membiarkan kasus ini terus mengambang, bukan tidak mungkin cara-cara semacam itu akan terus menjadi pilihan, dan bahkan dengan level yang lebih sadis.

Ini adalah lonceng kematian bagi penegak hukum dan aktivis anti korupsi. Jika penyerangan terhadap Novel—yang mengundang tekanan publik luar biasa, mendapat publisitas media, dan mengundang atensi khusus dari Presiden sebagai pimpinan tertinggi negara—saja dibiarkan, bagaimana jika hal yang sama terjadi pada yang lain. Pembiaran ini akan menimbulkan ketakutan kolektif di satu sisi, dan membangkitkan kepercayaan diri dan keganasan para bandit di sisi lain. Dengan kata lain, ini merupakan kiamat bagi upaya pemberantasan korupsi itu sendiri.

Komitmen antikorupsi presiden

Dalam kondisi darurat semacam ini, dimana kewibawaan politik tengah sekarat, dan supremasi hukum seakan tiarap, tak ada pilihan lain bagi Presiden sebagai pucuk pimpinan negara ini untuk mengambil inisiatif. Presiden harus bisa memulihkan kewibawaan negara, Indonesia tak boleh takluk oleh mafia. Treatmen khusus jelas dibutuhkan, pembentukan TGPF adalah sebuah keharusan.

Novel adalah ujian bagi presiden untuk membuktikan komitmennya dalam agenda pemberantasan korupsi. Sedari awal kampanye, Presiden Jokowi mencitrakan diri sebagai sosok bersih, baik melalui simbol baju putih yang ia kenakan maupun kredo Revolusi Mental yang selalu ia kampanyekan.  Revolusi mental harus benar benar ditegakkan. Revolusi Mental bukan sekadar jargon “Kerja! Kerja! Kerja!"

Revolusi Mental harus menyasar masalah asasi bangsa ini: Mental Korup yang terlanjur mewabah disegala lini. Untuk mewujudkanya, butuh integritas dan nyali. Tanpa itu, ia hanya menjadi retorika kosong yang manis di mimbar pidato semata. Kata tokoh besar China, Konfusius, “Yang pertama harus dilakukan pejabat adalah meluruskan kata. Jika kata-kata tidak lurus, apa yang dikatakan bukanlah apa yang dimaksudkan, Jika apa yang dikatakan bukanlah apa yang dimaksudkan, maka apa yang seharusnya diperbuat tak akan pernah diperbuat.”

*) Ketua PP Pemuda Muhammadiyah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement