Sabtu 18 Nov 2017 16:33 WIB

Benarkah Ada Unsur Politis di Balik Sikap KPK Terhadap Setnov?

Rep: dian erika n/ Red: Budi Raharjo
Penyidik KPK keluar membawa koper di Kediaman Rumah Ketua DPR Setya Novanto seusai menjalani pemeriksaan, Jalan Wijaya, Jakarta, Kamis (16/11) dini hari.
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Penyidik KPK keluar membawa koper di Kediaman Rumah Ketua DPR Setya Novanto seusai menjalani pemeriksaan, Jalan Wijaya, Jakarta, Kamis (16/11) dini hari.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ahli Hukum Tata Negara dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Bvitri Susanti, menilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) cenderung asih bersikap hati-hati dalam menangani kasus korupsi KTP-el yang melibatkan Ketua DPR, Setya Novanto (Setnov). Pertimbangan politis diduga melatarbelakangi kejadian sempat lolosnya Setnov saat dijemput paksa pada Rabu (15/11) lalu.

Bvitri mengapresiasi langkah KPK memindahkan perawatan Setnov dari RS Medika Permata Hijau ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada Jumat (17/11). "Soal anggapan bahwa KPK harus bertindak lebih (lebih jauh dari sekadar mengawasi di RSCM), saya sepakat. KPK harus jalan terus, sebab punya semua alat, baik alat hukum maupun teknologi pelacak untuk mengamankan Setnov," ujar Bvitri dalam diskusi yang digelar di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (18/11).

Pengajar di Sekolah Hukum Jentera ini juga menilai ada sejumlah kejanggalan yang belum terjawab sebelum insiden tabrakan mobil Setnov pada Kamis (16/11) malam. Kejanggalan ini terkait lolosnya Setnov dalam upaya jemput paksa oleh penyidik KPK di rumah pribadinya pada Rabu malam.

"Malam itu Setnov hilang dan tak ditemukan. Menurut saya, hal ini aneh mengingat KPK memiliki teknologi untuk melacak dan sebagainya," lanjut dia.

Kejanggalan tersebut menguatkan dugaan bahwa ada hal-hal yang diketahui oleh KPK tetapi tidak bisa diungkapkan lebih jauh. "Mungkin ada hal-hal yang sifatnya politis sehingga KPK cenderung berhati-hati. Sebab, KPK tahu yang dihadapi adalah orang kuat," tukas Bvitri.

Namun, dia pun mengakui jika pengaruh politis tidak bisa dilepaskan dari KPK. Bvitri mengingatkan jika lembaga antirasuah tersebut tidak bisa lepas dari pengaruh kepentingan,

Dirinya mencontohkan, pimpinan KPK dipilih oleh DPR. Dengan demikian, bukan hal yang mengherankan jika ada kesepakatan-kesepakatan tertentu antara calon pimpinan dengan anggota dewan tersebut.

Faktor lain yang juga dianggap memperkeruh upaya KPK mengamankan Setnov adalah terjadinya perpecahan di internal KPK. Kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan, disebut Bvitri sebagai penanda perpecahan dan keberpihakan kepada aktor-aktor politik tertentu.

"Jadi jika ditanya kok KPK tidak bisa menangkap Setnov ? saya juga punya pertanyaan sama. KPK seharusnya bisa bertindak lebih jauh, lebih tegas dan gunakan semua kemampuannya. Jika dilawan secara hukum pun KPK bisa menghadapi di pengadilan dengan segala argumentasinya," tegas Bvitri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement