Jumat 17 Nov 2017 19:22 WIB
Milad Muhammadiyah

Muhammadiyah Rekatkan Kebersamaan

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Fernan Rahadi
Ketua PP Muhammadiyah, Haedar Nashir saat berkunjung ke Desa Tliu, NTT
Foto: Republika/Eric Iskandar
Ketua PP Muhammadiyah, Haedar Nashir saat berkunjung ke Desa Tliu, NTT

REPUBLIKA.CO.ID, Muhammadiyah memperingati usia 105 tahun sejak pertama kali didirikan KH Ahmad Dahlan di Kampung Kauman Yogyakarta pada 18 November 1912. Dalam momentum ini, Muhammadiyah ingin merekatkan kembali relasi kebangsaan, sembari melakukan usaha-usaha peningkatan untuk memperluas jaringan yang ada.

"Merekatkan relasi kebangsaan dalam format keindonesiaan yang majemuk, tapi dibangun kekuatan agama, khususnya Islam, yang selain eksis punya peran besar dalam sejarah dan kebangsaan Indonesia," kata Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir, kepada Republika, beberapa waktu yang lalu.

Dalam konteks kekinian, Muhammadiyah melihat di dalam kehidupan bangsa Indonesia yang majemuk terdapat kecenderungan sebagian masyarakat mengalami disorientasi, sehingga terjadi retak pan­dangan. Hal itu mempengaruhi hubungan-hubungan sosial keumatan dan kebangsaan, yang dalam situasi seperti ini dirasa perlu reorientasi.

Ia melihat, tantangan kehidupan bangsa Indonesia memiliki pengaruh yang sangat besar baik dari global, regional sampai dinamika sosial. Dalam pengaruh itu, jika tidak pandai-pandai, masyarakat akan mengalami retak sesama bangsa, dan didasari itu Muhammadiyah mengajak seluruh komponen merekatkan kembali tenun kebangsaan.

Demi mewujudkan relasi kebersamaan, Muhammadiyah sebagai bagian bangsa dan ikut mendirikan republik ini, komitmen kebangsaan sudah inheren di dalam gerakannya. Karena Muhammadiyah gerakan Islam, komitmen keislaman Muhammadiyah manyatu dalam komitmen kebangsaan, dan komitmen kebangsaan menyatu dalam komitmen keislaman.

"Dengan spirit keislaman dan keindonesiaan yang bersenyawa secara utuh itu, Muhammadiyah ingin memperdalam dan memperluas area rajutan kebersamaan dari tubuh bangsa ini," ujar Haedar.

Haedar menuturkan, komitmen itu dapat dilakukan pertama dengan membangun kembali alam pikiran di tubuh bangsa, kalau Indonesia akan tetap eksis dan punya masa depan yang maju. Hal itu dikatakan hanya dapat terwujud kalau seluruh komponen bangsa tetap berada di dalam kebersamaan.

Itu yang menjadi dasar langkah Muham­madiyah agar seluruh komponen bangsa, dengan keragaman agama, suku, golongan dan kedaerahan, tetap punya alam pikiran sebagai satu kesatuan keindonesiaan. Kedua, lanjut Haedar, komitmen itu akan diwujudkan dalam membangunan jalinan dan jaringan kebersamaan dari seluruh komponen bangsa.

Tujuannya, agar semakin meningkatkan komunikasi dan silaturahim seluruh kompo­nen bangsa, sehingga tidak sering terjadi miskomunikasi, misinterpretasi, dan mung­kin mispersepsi dalam berbagai persoalan kehidupan kebangsaan. Ketiga, Muham­madi­yah senantiasa mengingatkan kalau kompo­nen bangsa yang ada itu kekuatan integratif.

Artinya, Muhammadiyah memiliki mo­dal sejarah dan sosial kemasyarakatan, untuk tetap menjadi kekuatan perekat dalam kehidupan kebangsaan. Apalagi, amal-amal usaha dan institusi Muhammadiyah meluas dalam kehidupan kebangsaan, mulai lembaga pendidikan, kesehatan, organisasi oto­nom dan pranata-pranata sosial masyarakat.

"Kekuatan kohesif seperti bagaimana amal usaha Muhammadiyah di Indonesia timur, termasuk Papua dan Nusa Tenggara Timur (NTT), jadi kekuatan pemersatu," kata Haedar.

Selain Suku Manggarai di Nusa Tenggara Timur dan Suku Kokoda di Papua Barat, Muhammadiyah memberikan pembinaan ke Sambalung di Nusa Tenggara Barat, Berau di Kalimantan Timur dan Sebatik di Kalimantan Utara. Hal itu sekaligus meng­uat­kan panji-panji Muhammadiyah yang terbentang dari Sabang sampai Merauke.

Mengabdikan diri kepada bangsa dan negara, Muhammadiyah mencerdaskan masyarakat Indonesia timur melalui aspek-aspek pendidikan, budaya, agama dan me­ning­katkan rasa kebersamaan sesama bang­sa. Mereka yang kerap dijadikan anak tiri, dibina memahami hak dan kewajibannya sebagai pilar Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Memainkan Peran Moderasi

Dalam konteks ini, Muhammadiyah ditekankan untuk memerankan diri sebagai kekuatan moderasi yakni menjadi fasilitator, sekaligus mediator saat komponen tubuh bangsa memiliki retak perbedaan. Tapi, ha­rus selalu diingat jika tak ada bangsa maje­muk yang tanpa gesekan, dan hanya utopia membayangkan bangsa besar tanpa gesekan.

Untuk itu, tidak perlu ditampilkan adanya gesekan, saling silang kepentingan, dan Muhammadiyah akan memainkan peran memoderasi dan mediasi. Tidak lain, tujuan­ya agar perbedaan dan silang kepentingan tetap di koridor hukum, koridor aturan main dan koridor kebudayaan sebagaimana masyarakat majemuk yaitu Bhineka Tunggal Ika.

"Dalam konteks ini, fungsi mediator dan moderasi itu akan kita jalankan dengan tulus tanpa kepentingan dan tidak terjebak pola­risasi kanan atau kiri, apalagi kepentingan po­litik yang sering membuat kita berada dalam konflik kepentingan," ujar Haedar.

Ia meyakini, Muhammadiyah bisa me­rangkul, mengomunikasikan dan menyiner­gikan dengan siapa saja, terbebas dari ke­pentingan sempit. Fungsi ini akan ditegaskan akan terus dimainkan dengan harapan dii­kuti seluruh elemen bangsa, karena hanya dengan itu Indonesia akan selalu bisa menemukan resolusi konflik.

Karenanya, harus senantiasa diingat pula jika terlibat kepentingan, lebih-lebih dalam ekstrim posisi, baik terlalu ke kanan maupun terlalu ke kiri, orang tidak akan bisa saling berbagi, berkomunikasi, apalagi pe­duli terhadap masalah-masalah yang tengah dihadapi bangsa.

Kuncinya, lanjut Haedar, ti­dak lain mem­ba­ngun pola pikir, paradigma dan format karakter bangsa Indonesia yang bersifat mo­derat dan berkemajuan. Se­bab, ka­rak­ter moderat dapat membuat kita bisa hidup ber­sa­ma di da­lam keragaman secara damai, toleran, serta saling asah, asih dan asuh.

Artinya, ketika terlibat kon­flik kepenti­ngan dan per­be­daan, semangat moderat­lah yang secara sejati akan ditampilkan. Tapi, tentu mode­rat itu harus betul-betul ber­asal dari sikap yang tulus, jer­nih dan tanggung­jawab besar, sehingga tidak mengaku mo­derat tapi banyak kepentingan apalagi ekstrim.

Haedar melihat, jika mo­de­rat itu eksklu­sif, banyak kepen­tingan diri sendiri dan se­lalu ekstrim, mun­cul tentu bu­kanlah moderat sejati. Karenanya, ia ber­ha­rap semua komponen bangsa sesuai buda­yanya, baik yang bermuara kepada agama, lebih-lebih Islam, atau kepada buda­ya Indo­nesia yang gotong royong atau tenggang rasa.

Tapi, ia mengingatkan, menghadapi globalisasi dan modernisasi awal abad 21 tidak cukup sikap moderat semata, dan perlu karakter berkemajuan untuk menjadi bang­sa yang unggul. Dengan kata lain, perlu ma­syarakat yang cerdas, obyektif, rasional, berorientasi ke depan, etos kerja tinggi, man­diri dan berdaya saing.

"Dengan sifat seperti ini, umat Islam maupun bangsa ini akan bisa berfastabikul khairat dengan bangsa lain, dengan sikap moderat yang genuine berkemajuan itu, saya yakin Indonesia ke depan akan punya masa depan yang maju," kata Haedar.

Ia menekankan, bangsa Indonesia ja­ngan sampai jadi penonton, apalagi obyek penderita dari proses globalisasi dan mo­der­nisasi, hanya karena lemah karakter dan ti­dak memiliki potensi unggul. Maka itu, di tengah spirit merekat kebersamaan itu Mu­ham­madiyah ingin menjadikan Indonesia sebagai masyarakat moderat berkemajuan. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement