Kamis 16 Nov 2017 05:03 WIB

Anies Baswedan, Ananda Sukarlan, dan Sikap Kekanakan

Anies Baswedan berpidato di ulang tahun ke 90 SMA Kanisius Jakarta.
Foto: Antara Foto
Ananda Sukarlan

Apa pun itu, aksi Ananda malah membuka kembali garis demarkasi yang tegas lepas Pilkada DKI. Sebab bukan rahasia bahwa Ananda adalah pendukung Ahok. Dan ini mengakibatkan munculnya kembali sentimen Pilkada DKI antara kedua kubu. Dan sebagai salah satu tokoh publik di dunia musik, sikap ini jadi kurang elok.

Sebagian besar yang mendukung Ahok pasti memuji tindakan Ananda. Tapi, Anies pun didukung oleh 58 persen warga di DKI. Dan bisa jadi mayoritas pemilih Anies itu marah dengan tindakan Ananda. Walhasil ini tercermin di ranah sosial media di mana aksi Ananda membakar kembali perseteruan Ahoker vs Aniser.

Jika apabila alasan aksi Ananda itu dengan alasan ketidaksetujuannya pada sosok Anies yang dinilai merusak persatuan, maka hal itu jadi paradoks. Sebab aksi yang dilakukan Ananda sebagai tokoh publik juga jauh dari kata menyatukan, malah menebar perseteruan.

Orang pun jadi berpikir sikap Ananda ini bukan sebuah bentuk ideologis tapi emosi belaka. Ini ibarat peristiwa yang kerap terjadi di sepak bola Indonesia. Saat sebuah tim yang sedang kalah dan merasa diperlakukan tidak adil, maka tim itu mogok bertanding dan meninggalkan lapangan begitu saja. Padahal risiko pertandingan adalah menang dan kalah serta kontroversi yang menyulut emosi.

Dan yang terjadi kini memang benar-benar laksana laga sepak bola Liga Indonesia. Yang mana sikap lebih dipengaruhi sentimen sebagai suporter. Tak peduli apakah itu Ahoker atau Aniser.

Mungkin Ahoker dulu juga meradang saat di sejumlah kesempatan Ahok diboikot oleh sejumlah masyarakat. Saya juga masih ingat bagaimana Ahoker dulu nyinyir ketika ada aksi boikot pada sebuah produk roti sebagai bentuk aksi 212. Dan di sisi lain, sebagian yang kini Aniser adalah inisiator dari aksi boikot zaman Ahok itu.

Tapi kini lakon telah beranti. Yang dulu nyiyir karena jagonya diboikot, malah senang bukan kepalang saat sang lawan yang diboikot. Saat Anies yang diboikot, giliran Ahoker yang menjadi dalangnya.

Jadi atas nama logika sehat, jangan bawa kata objektifitas dari semua aksi boikot memboikot ini. Ini bukan bentuk keobjektivan tapi ke-baperan.

Sulit beragumentasi soal nilai ideologis yang termuat dalam setiap tindakan boikot kepada lawan politik. Sebab relasi yang terbangun adalah haters vs fanboy. Semua ini mirip perseteruan antara suporter kesebelasan sepak bola.

Tapi sejauh apa pun fanboy dan haters berseteru di sepak bola, mesti ada titik tengah bernama legawa. Sebab pada akhirnya di setiap pertandingan ada yang menang dan kalah begitu wasit meniup peluit. Meski menang dan kalah dalam sepak bola kerap dibumbui sebuah kontroversi, itu adalah hal yang niscaya dan biasa-biasa saja.

Pun halnya di politik. Dalam pemilu pasti ada silang pendapat dan jual beli artikulasi yang kerap menyulut emosi. Tapi saat palu KPU atau MK sudah mengetuk palunya, maka semua harus menghormatinya secara dewasa.

Tapi apa pun itu sikap Ananda adalah haknya secara pribadi. Sebab menjadi dewasa atau kekanakan adalah sebuah pilihan.n

*Sammy Abdullah, Jurnalis Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement