Kamis 16 Nov 2017 05:03 WIB

Anies Baswedan, Ananda Sukarlan, dan Sikap Kekanakan

Anies Baswedan berpidato di ulang tahun ke 90 SMA Kanisius Jakarta.
Foto: ist
Menteri Perindustrian Airlangga Hartanto yang juga alumnus Kolese Kanisius hadir dalam acara rangkaian perayaan HUT Kolese Kanisius ke-90

Boikot sejatinya sebuah kata dalam kamus bahasa Inggris yang diambil dari nama seorang mandor tanah di daratan Inggris Raya bernama Charles Boycott. Pada 1880, di Irlandia terjadi sebuah peristiwa yang disebut Perang Tanah Irlandia. Boycott merupakan orang yang bertanggung jawab mengawasi tanah milik bangsawan bernama Lord Erne di wilayah Lough Mask, Irlandia.

Karena pada 1880 hasil panen di lahan milik Lored Erne buruk, maka sang pemilik tanah menawarkan pemotongan biaya sewa tanah sebesar 10 persen. Para penyewa tanah masih merasa keberatan dan meminta 25 persen pengurangan uang sewa. Erne menolak permintaan itu. Kemudian Kapten Boycott yang merupakan 'mandor' tanah milik Erne mengusir 11 orang penyewa tanah.

Pengusiran itu kemudian menimbulkan perlawanan dari penyewa tanah lain. Mereka kompak untuk tak bekerja dan menolak membayar sewa. Aksi ini diikuti oleh petugas pengantar surat yang enggan mengantar surat kepada Erne atau Boycott. Hampir seluruh pekerja di lahan milik Erne juga enggan bekerja. Usaha Boycott dan Erne akhirnya diisolasi. Kerugian besar harus diterima Erne akibat aksi sang mandor, Boycott.

Reporter New York Tribune, James Redpath kemudian menuliskan kisah itu dalam laporannya pada koran edisi 20 November 1880.

Lepas dari kisah di Irlandia itu, the Times kemudian menciptakan terminologi bahasa baru. Setiap aksi isolasi yang dilakukan secara terencana kemudian disebut dengan istilah boycotted (diboikot) yang berarti dibuat seperti yang dialami Boycott pada November 1880.

Kini, tepat menjelang ulang tahun ke-137 dari penemuan istilah 'boikot' (20 November), terminologi ini ramai dipakai masyarakat Indonesia. Ya, pemantiknya adalah kisah Ananda Sukarlan.

Tapi latarbelakang dari pemboikotan jauh berbeda dengan kisah di Irlandia 1880. Filosofinya atas aksi Ananda pun tak sesuai dengan filosofi boikot sesungguhnya. Sebab yang terjadi pada tahun 1880 adalah usaha untuk mencari ruang diskusi dan keadilan yang setara.

Pada 1880, Charles Boycott dinilai melakukan usaha isolasi usaha secara sepihak kepada 11 penyewa tanpa ada ruang untuk berdiskusi secara setara. Karena alasan itu kemudian isolasi yang sama dilakukan kepada Boycott.

Isolasi itu pun bukan sebagai bentuk usaha untuk mempermalukan pribadi Charles Boycott. Sebaliknya sebagai bentuk perundingan secara tak langsung. Sehingga akhirnya kemudian Boycott mengendurkan sikapnya pada para penyewa tanah.

Nah, yang terjadi kepada Anies sulit diartikan dengan filosofi yang sama. Karena setidaknya aksi yang dilakukan adalah sepihak oleh Ananda tanpa membuka ruang diskusi yang setara. Ananda cs pun seakan sengaja menunggu momentum keluar ruangan saat Anies berpidato.

Jika dia keberatan terhadap sikap Anies, bukankah lebih gentle kalau disampaikan langsung ke yang bersangkutan tanpa harus menunggu dia pulang? Kritik atau bahkan kecaman yang dilakukan saat muka dan muka berhadapan, niscaya jauh lebih konstruktif. Tapi kalau tindakan itu dimaksudkan untuk mempermalukan, maka itu jadi lain soal.

Yang dilakukan Ananda pada Anies malah lebih mirip dengan posisi seorang Boycott keada sang penyewa lahan. Tanpa sempat membuka ruang diskusi, Ananda malah melakukan aksi sepihak. Walhasil kemudian muncul reaksi balik dari para pendukung Anies.

Lucunya aksi balasan dari pendukung Anies malah salah sasaran. Aksi balasan malah menyasar pada Traveloka. Sialnya, pemilik Traveloka Derianto Kusuma dianggap ikut pada aksi boikot pada pidato Anies di Kanisius. Sebab nama Derianto bersanding bersama Ananda selaku penerima penghargaan malam itu. Padahal si empunya Traveloka itu tak ada di lokasi.

Tapi hoax sudah menjadi bubur. Derianto dianggap ikut menginisiasi tindakan 'mengisolasi' Anies sehingga aksi isolasi balasan dilakukan pada usahanya yakni Traveloka. Sehingga muncul kemudian gerakan uninstall pada aplikasi Traveloka yang diserukan dan dilakukan oleh Aniser (pendukung Anies).

Pada poin ini bukan soal hoax-nya yang ingin dijadikan benang merah. Tapi soal aksi dan reaksi yang terjadi akibat tindakan Ananda. Ini layaknya aksi 'boycott' dan kemudian di-'boycott' oleh para penyewa lahan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement