Rabu 15 Nov 2017 04:00 WIB

Demokratis Sejati

Imam Besar Masjid New York Shamsi Ali menemui Gubernur Anies Baswedan di Balai Kota DKI Jakarta, Jumat (3/11).
Foto: Republika/Mas Alamil Huda
Imam Besar Masjid New York Shamsi Ali menemui Gubernur Anies Baswedan di Balai Kota DKI Jakarta, Jumat (3/11).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Imam Shamsi Ali *)

Dalam dunia demokrasi perbedaan tidak saja sesuatu yang pasti terjadi. Justeru perbedaan menjadi karakter dasarnya. Demokrasi itu hidup karena adanya kebebasan. Maka kebebasan adalah nyawa demokrasi. Ketika kebebasan dibungkam di saat itu pula demokrasi mengalami mati suri.

Oleh karena kebebasan adalah nyawa demokrasi maka bebas berekspresi merupakan sesuatu yang harus diapresiasi. Melakukan protes dalam tatanan demokrasi adalah tanda bahwa demokrasi itu hidup dan dinamis.

Yang menjadi masalah kemudian adalah manusia seringkali tidak jujur dalam menyikapi dinamika dan kehidupan demokrasi itu. Ketika mereka yang dianggap berseberangan melakukan protes, karena sesuatu yang dianggap tidak sesuai protes itu dianggap “ancaman demokrasi”. Bahkan, tidak jarang dituduh anarkis dan ekstrim.

Sebaliknya, ketika mereka yang melakukan protes, sebagai wujud kebebasan dalam tatanan demokrasi yang hidup dan dinamis, maka itu adalah murni demokrasi. Dipuji setinggi langit bahkan dianggap penyelamat demokrasi.

Pada saat mendapat kehormatan bersilaturahim dengan Gubernur DKI Dr Anies Baswesan, saya menekankan pentingnya menjaga keragaman. Dan saya menyampaikan bahwa pak Gubernur paham betul apa dan bagaimana hidup dalam tatanan masyarakat dengan pluralitas tinggi, dalam tatanan masyarakat demokratis. Setuju atau sebaliknya tidak setuju tentang suatu atau banyak hal akan menjadi sesuatu yang lumrah.

Saya memberikan apresiasi tinggi kepada Gubernur DKI atas sikap lapang, ikhlas, dan menerima atas perlakuan sebagian hadirin di peringatan 90 tahun Kolese Kanisius Jakarta. Sebuah sikap demokratis sejati dari seorang pemimpin yang dipilih secara demokratis dengan kemenangan mayoritas.

Saya tentunya juga mengapresiasi sikap sebagian hadirin yang memprotes kehadiran Gubernur DKI dengan melakukan walk out. Hal seperti ini dalam dunia demokrasi menjadi biasa, bahkan boleh jadi sesuatu yang menjadi tanda dinamika demokrasi itu sendiri.

Yang saya khawatirkan adalah jika protes walk out ini masih merupakan indikasi ketidakmampuan untuk melupakan perihnya kekalahan. Semoga tidak. Tapi, kalau ternyata sikap itu adalah bentuk “dendam politik” yang berkepanjangan, maka kita sayangkan, sekaligus dapat kita bayangkan jika kita tidak akan ke mana-mana.

Hal lain yang saya perlu ingatkan adalah sebagai bangsa Indonesia adalah pentingnya memperhatikan nilai-nilai dan kearifan lokal. Protes memang adalah tanda kehidupan dan dinamika demokrasi. Tapi, bangsa Indonesia juga diikat oleh karakter budayanya yang santun, sopan, dan menghormati tamunya. Saya yakin kedua hal tidak harus bertabrakan. Tapi, perlu keseimbangan yang disesuikan dengan sikonnya.

Yang paling terpenting adalah kita jangan sampai memilah-milah dalam mengapresiasi nilai demokrasi. Seolah praktik demokrasi itu hanya hak sekelompok orang tertentu. Ketika orang lain mempraktekkan haknya maka nilai yang positif itu berubah menjadi sangat negatif.

Aksi 411 maupun aksi 212 lalu merupakan ekspresi kebebasan dan ruh demokrasi, serta menjadi hak dalam tatanan masyarakat demokratis. Tapi kenapa aksi itu justeru dianggap radikal dan membahayakan demokrasi?

Di sinilah saya menjadi bingung dengan berbagai nilai yang dibanggakan oleh dunia kita. Ternyata, nilai-nilai itu seperti demokrasi, kebebasan, HAM, dan seterusnya hanya menjadi positif jika menguntungkan pihak tertentu. Sebaliknya, jika nilai-nilai itu memihak kepada kelompok tertentu tiba-tiba saja menjadi negatif dan ancaman.

Apakah memang kita sedang hidup dalam dunia kemunafikan? Wallahu a’lam!

Slipi, 13 Nopember 2017

*)  Presiden Nusantara Foundation

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement