Jumat 10 Nov 2017 07:47 WIB

Pasukan Gurkha ZiA ul Haq, Gema Takbir di Palagan 10 November 1945

Tentara Gurkha bertempur di Surabaya pada tanggal 10 November 1945.
Foto:
Tentara Gurkha

Karena pernah mengalami pertempuran langsung di Surabaya  pada 10 November 1945, mantan Presden Pakistan Zia ul Haq ini selalu terkenang dengan kota yang terkenal dengan makanan rawon dan rujak cingurnya itu. Bahkan, pada tahun 80-an, semasa Zia ul Haq menjabat sebagai presiden dan melakukan kunjungan kenegaraan ke Indonesia, dia secara khusus meminta kepada Presiden Suharto agar bisa berkunjung ke Surabaya.

Tentu saja, sebagai sesama mantan komandan tempur Suharto pun mengizinkannya. Dikabarkan saat Suharto menginyakan keinginannaya, wajah Zia ul Haq menjadi sumringah alias berseri-seri. Ini membutikan kenangan pertempuran besar antara tentara sekutu (Inggris dan Austalia yang di dalamnya ada legiun Gurkha) begitu dalam membekas dalam hatinya. Zia ul Haq saat itu hanya seorang tentara dan tidak tahu tetek bengek politik dan pada awalnya tak paham bahwa kedatangan tentaranya itu diboncengi tentara Nica (Belanda) yang ingin menjajah kembali Indonesia.

Bagi kalangan rakyat yang sempat terlibat dalam peristiwa pertempuran itu, mereka juga melihat peran tentara Gurkha. Namun, mereka juga melihat keanehan ketika banyak diantara mereka yang mogok tak mau perang. Bahkan, beberapa orang malah melakukan disersi.

Mengapa demikian? Jawabnya karena tentara Gurkha yang salah satunya komandannya adalah Zia ul Haq terkejut ketika tiba di Surabaya dengan melihat banyaknya masjid dan meluasnya suara adzan ketika tiba waktu shalat. Mereka tiba-tiba sadar karena pihak yang mereka perangi adalah saudaranya sendiri, sesama Muslim. Maka mereka pun mogok tak mau bertempur.

Para legiun Gurkha itu pun kian kaget ketika ada seruan dari radio yang dikumandangkan Bung Tomo serta teriakan para pejuang di tengah pertempuran Surabaya adalah: 'Allahu Akbar!'. Maka praktis secara diam-diam sebagian tentara sekutu mengalami ‘demoralisasi’. Apalagi tentara Gurkha pun pada saat itu aktif mengerjakan shalat berjamaah di berbagai masjid bersama warga lokal. Nah, kenangan itulah yang dirasakan Zia ul Haq ketika menjadi komandan pasukan Gurkha di Surabaya. Dan memori ini lestari hingga dia menjabat sebagai Presiden Pakistan.

Pekik 'Allahu Akbar' yang terdengar di tegah pertempuran memang menjadi pertanda bahwa pertempuran itu merupakan ajang perang kaum santri. Mereka bergerak setelah Hadratus Syekh Hasyim Asy'ari menyatakan perlawanan kepada penjajah adaah kewajiban setiap Muslim: Cinta tanah air adalah sebagian dari iman! Seruan pendiri NU ini tentu saja membakar semangat para santri yang datang dari berbagai pesantren yang tersebar, tak hanya dari seputaran Surabaya dan Jawa Timur saja, tapi hingga meluas di berbagai pesantren yang ada di Jawa Tengah dan Cirebon. Para santri itu datang untuk bertempur dengan naik kereta api ke Surabaya.

''Dua orang saudara kakek kami gugur dalam pertempuran di Surabaya. Mereka datang ke sana dengan naik kereta api dan tertembak ketika hendak masuk kota Surabaya dari arah Sidaorjo,'' begitu kata salah satu pengasuh pondok pesantren Somalagu, di desa Sumber Adi, Kebumen Jawa Tengah, beberapa waktu silam.

Dia mengatakan, mereka datang dan ikut bertempur melawan bala tentara Sekutu yang diboncengi Nica dengan semangat berjihad. Jadi masuk akal bila pasukan Gurkha yang salah satunya dikomandani Zia Ul Haq menjadi malas bertempur. Mereka tahu tak ingin tangannya berlumuran darah karena memerangi sesama Muslim.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement