REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jumlah orang dengan demensia (ODD) akan terus meningkat, begitu pula biaya perawatannya apabila tidak ada kegiatan untuk menanggulangi penyakit ini. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memperkirakan akan ada empat juta ODD di Indonesia pada 2050 dengan biaya penanganan mencapai Rp 1 triliun pada 2018.
"Biaya ini diperkirakan akan meningkat Rp 2 triliun pada 2030," kata CEO Alzheimer's Disease International (ADI) Paola Barbarino di Jakarta beberapa waktu lalu.
Paola menjelaskan, negara-negara di Asia berpotensi mengalami peningkatan ODD dalam beberapa tahun ke depan. Sekitar 68 persen ODD berasal dari keluarga menengah ke bawah. Beberapa faktor yang memicu tingginya biaya penanganan di Asia antara lain kurangnya pemahaman akan demensia, serta kurangnya sumber daya dan pelatihan bagi pendamping.
Indonesia, India, dan Cina adalah negara yang diprediksi akan mengalami peningkatan jumlah ODD terbanyak di Asia. Paola mengapresiasi langkah Indonesia yang telah menyusun Rencana Aksi Nasional untuk menangani demensia dan alzheimer. Akan tetapi, masih perlu peningkatan pemahaman akan kedua penyakit ini untuk mengurangi beban penanganan di masa depan.
Ilmuwan dari Center for Health Brain Ageing CHEBA mengatakan belum ada obat untuk penyakit demensia. Pencegahan menjadi faktor utama untuk menurunkan jumlah ODD di masa mendatang. "Penanganan yang baik diprediksi akan menurunkan ODD hingga 40 persen," kata dia.
Peneliti dalam bidang kelainan neurologis dan kesehatan masyarakat, Tarun Dua mengatakan, demensia semakin menantang, sebab makin banyak populasi yang menua. Saat ini penderita demensia di dunia mencapai satu orang per tiga detik. "Ada dampak langsung baik dari sisi biaya pengobatan maupun sosial. Kalau tidak ada tindakan untuk mencegah dan memperhatikan orang dengan demensia, biaya ini akan terus meningkat," kata dia.
Tarun Dua mengatakan, demensia harus menjadi salah satu prioritas dalam rencana aksi dunia. Perlu komitmen dari semua pihak, baik dari pemerintah, institusi swasta, pegiat kesehatan, maupun media untuk mewujudkan hal ini.
Ada dua hal yang perlu disadari dalam menyiapkan aksi nasional. Pertama, demensia tak dapat dipisahkan dari isu-isu kesehatan lain. Bicara tentang demensia juga menyangkut tentang kesehatan mental, hak asasi manusia, dan sebagainya. Semuanya saling terikat dan saling memengaruhi.
Kedua, penanganan demensia harus melibatkan pemahaman akan prinsip-prinsip kesetaraan, baik dari sisi gender, kesetaraan sosial, dan sebagainya. Penanganan kesehatan harus bersifat universal dengan pendekatan multisektoral.
Stigma menjadi masalah prioritas yang harus ditangani dalam menghadapi demensia. Perlu pendekatan dari semua level, baik global, nasional, regional, hingga komunitas untuk mewujudkan penanganan demensia yang baik.
Menteri Kesehatan Nila F Moeloek mengatakan saat ini ada 263.510.146 penduduk di Indonesia. Sekitar 62 juta berada di usia remaja dan 157 juta di usia produktif. Sisanya merupakan anak-anak dan lansia.
Ia menjelaskan, Rencana Aksi Nasional Demensia disusun pemerintah bersama Alzheimers Indonesia, menggunakan pendekatan siklus hidup (life-cycle approach) dan gaya hidup sehat. Dengan begitu, orang dengan demensia dan pendamping mendapatkan perlindungan terkait hak-haknya sebagai manusia, mulai dari hukum hingga pengelolaan keuangan.
Kementerian Kesehatan RI berkomitmen untuk terus berkolaborasi dan bekerjasama dengan semua pihak untuk memberikan advokasi dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap potensi risiko terkena penyakit Alzheimer dan demensia, di seluruh Indonesia, kata dia.
Executive Director Alzheimers Indonesia, Sakurayuki, mengatakan Konferensi Regional Alzheimers Disease Asia Pasifik akan menjadi momentum bersama untuk meningkatkan pemahaman kepada semua pihak seperti pemerintah dan pendamping, serta orang-orang yang mungkin akan terlibat dengan para ODD. Konferensi berlangsung di Jakarta, 3-5 November 2017.
"Kami berharap berbagai kegiatan ini dapat menambahkan pemahaman masyarakat dan memberikan gambaran apa saja yang bisa kita lakukan untuk mencegah alzheimer, sehingga masyarakat tidak lagi maklum dengan pikun," ujar dia.