Senin 06 Nov 2017 05:00 WIB

Saudi tak Lagi Mengekspor Wahabi?

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

Perubahan besar kini sedang terjadi di Saudi. Arsiteknya sang Putra Mahkota Pangeran Muhammad. Ia adalah putra Raja Salman. Bila kelak menjadi raja, ia merupakan yang pertama dari generasi cucu Raja Abdulaziz, sang pendiri kerajaan.

Ketika dibaiat menjadi putra mahkota (21 Juni 2017), usianya baru 31 tahun. Masih sangat muda. Pendidikannya pun hanya di dalam negeri, sarjana hukum dari Universitas King Saud. Namun, jangan tanya jabatannya. Selain putra mahkota, ia juga wakil PM, menteri pertahanan, dan ketua Dewan Urusan Ekonomi dan Pembangunan. Media Barat menyebutnya sebagai "Mr Everything".

Perubahan besar ia mulai ketika masih debut sebagai putra mahkota (23 Januari 2015-21 Juni 2017). Putra mahkota sebelumnya adalah Muhammad bin Nayef. Pada Juni lalu, Pangeran Muhammad menggantikannya sebagai putra mahkota. Pada April 2016, ia mengajukan Visi Saudi 2030 dan sidang kabinet menyetujuinya.

Menurut Pangeran Muhammad, Visi 2030 merupakan peta jalan menuju Saudi modern yang berkesejahteraan. Untuk mencapainya, harus ada perubahan di semua lini.

Di bidang ekonomi, misalnya, Saudi akan mendiversifikasi pendapatan negara. Selama ini, hampir 80 persen pendapatan Saudi dari minyak. Dalam bahasa pangeran muda ini, negaranya selama puluhan tahun sudah kadung kecanduan minyak.

"Sepertinya, konstitusi Saudi itu Alquran, hadis, dan kemudian minyak," ujarnya ketika merilis Visi Saudi 2030 setahun lalu.

Lalu, apa hubungan Visi 2030 dengan ulama Wahabi? Ada dua persoalan yang dianggap bisa menghambat Visi 2030. Keduanya terkait erat dengan sikap dan pandangan ulama setempat (Wahabi).

Pertama, berbagai aturan—bersumber pada fatwa para ulama Wahabi—yang membelenggu hak-hak dan kebebasan perempuan. Berbagai aturan itu telah memosisikan perempuan Saudi selama puluhan tahun sebagai swarga manut neraka katut alias warga kelas dua.

Untuk mencapai Visi 2030, kaum perempuan Saudi harus produktif. Oleh karena itu, mereka harus menjadi mitra sejajar dengan laki-laki sehingga bisa ikut serta secara aktif memajukan negara.

Untuk itu, Raja Salman pun mengeluarkan dekrit yang memperbolehkan perempuan menyetir mobil. Sebuah dekrit yang akan merontokkan aturan-aturan lain yang difatwakan haram ulama Wahabi dan dianggap banyak pihak telah membelenggu hak-hak dan kebebasan perempuan.

Persoalan kedua adalah adanya kelompok-kelompok ekstrem. Sang Putra Mahkota menegaskan, ekstremisme atau kelompok-kelompok ekstrem adalah musuh negara dan bangsa, musuh pembangunan, dan musuh modernisasi. Penegasan itu ia sampaikan saat memberikan sambutan pada peluncuran proyek raksasa di pesisir Laut Merah, beberapa hari lalu.

Neom, nama proyek raksasa itu, merupakan sebuah kota supermodern berbasis teknologi informasi. Proyek itu akan menelan biaya 500 miliar dolar AS atau sekitar Rp 6.700 triliun. Pembangunan kota modern termasuk dalam kerangka Visi 2030, yaitu Saudi ingin terlepas dari ketergantungan pada minyak.

Menurut dia, untuk membangun Saudi yang lebih modern dan berkesejahteraan, masyarakat juga harus berubah, termasuk para ulamanya. Ia ingin Saudi menjadi megara Islam yang lebih moderat. Ia menegaskan, kelompok-kelompok ekstrem yang memaksakan kehendaknya pada masyarakat tidak lagi punya tempat di masyarakat Saudi. Pangeran muda ini juga berjanji akan melawan ideologi ekstremis dan menghancurkannya.

Ia menyebut ekstremisme mulai muncul di negara-negara Islam setelah tahun 1979, termasuk di Saudi. Tepatnya setelah Revolusi Islam Iran menang dan berhasil mengambil-alih kekuasaan dari Shah Reza Pahlevi.

Namun, sejarah Saudi sejak berdiri hingga kini sebenarnya adalah sejarah kontradiksi akibat aliansi politik-agama yang membentuk Kerajaan Arab Saudi. Kontradiksi yang tidak jarang mengarah pada penentangan ulama Wahabi terhadap modernisasi. Dari penentangan terhadap keberadaan radio, telepon, televisi, sepak bola dengan celana pendek, hingga perempuan bekerja, kuliah, membuka rekening di bank, perempuan menyetir mobil, dan seterusnya.

Munculnya kelompok teroris bersenjata yang menyandera Masjidil Haram pimpinan Juhaiman al-Otaybi pada November 1979 tidak ada hubungannya dengan Revolusi Islam Iran. Penyanderaan Masjidil Haram yang dilakukan pengikut Wahabi itu sebagai protes keras terhadap modernisasi yang dilakukan Pemerintah Saudi.

Dalam proses pembebasan Masjidil Haram saat itu, ratusan orang—baik dari pihak teroris maupun pasukan keamanan—menjadi korban tewas. Al-Otaybi dieksekusi mati di depan umum di Makkah pada 9 Januari 1980.

Yang perlu mendapatkan catatan, ulama Wahabi dalam banyak hal punya semacam hak veto terhadap berbagai keputusan pemerintah. Hal itulah yang acap memaksa para raja Saudi mengikuti kemauan mereka, termasuk ketika Raja Fahd bin Abdulaziz (berkuasa 1982-2005) membuka kantor kebudayaan dan pendidikan di lebih dari 70 Kedubes Saudi di berbagai negara.

Mereka juga mengangkat atase agama untuk mengawasi pembangunan masjid yang didanai Saudi. Berbagai pihak menuduh apa yang dilakukan Saudi itu sebagai ekspor paham Wahabi ke dunia luar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement