Senin 06 Nov 2017 03:01 WIB

Parade Juang Surabaya Refleksikan Peristiwa 10 November

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Andri Saubani
Peserta meakukan aksi teatrikal peperangan ketika mengikuti Parade Surabaya Juang saat melintas di jalan Tunjungan, Surabaya, Jawa Timur, Ahad (5/11).
Foto: Republika/Prayogi
Peserta meakukan aksi teatrikal peperangan ketika mengikuti Parade Surabaya Juang saat melintas di jalan Tunjungan, Surabaya, Jawa Timur, Ahad (5/11).

REPUBLIKA.CO.ID, Aksi teatrikal Sumpah Pregolan (sumpah merdeka atau mati) menjadi pembuka Parade Surabaya Juang yang digelar Pemerintah Kota Surabaya, dalam memperingati Hari Pahlawan, Ahad (5/11). Aksi teatrikal yang diperagakan Komunitas Surabaya Juang itu, menggambarkan bagaimana gigihnya pasukan arek-arek Surabaya dalam mengusir para penjajah Belanda pada 10 November 1945.

"Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar," pekikan suara Takbir tersebut keluar dari mulut para pemeraga aksi teatrikal, yang artinya Pasukan arek-arek Surabaya telah berhasil memukul mundur para penjajah.

Ketua Komunitas Surabaya Juang, Herry Lentho menjelaskan, Pregolan merupakan awal terjadinya pertempuran yang menecetuskan semangat Merdeka atau Mati. Herry berharap, dengan kembali direkonstruksinya peristiwa tersebut, diharapkan bisa menjadi momentum masyarakat Indonesia, khususnya warga Surabaya untuk selalu memegang teguh nilai perjuangan.

"Peristiwa ini sengaja kami rekonstruksi, karena di momen itulah awal mula tercetusnya tekad merdeka atau mati arek-arek Surabaya," kara Herry.

Parade Surabaya Juang ini menempuh rute berjarak 6,5 kilometer. Titik awal parade berada di Tugu Pahlawan dan berakhir di Taman Bungkul. Beberapa titik yang dilalui para peserta parade, merupakan tempat-tempat yang kental nilai sejarah. Sebut saja Gedung Siola, Hotel Mojopahit, tempat perobekan Bendera Belanda, Gedung Grahadi, Tugu Bambu Runcing dan Polisi Istimewa-Santa Maria.

Kegiatan ini melibatkan 28 unsur komunitas dengan total jumlah peserta sebanyak 350 orang. Mereka terdiri dari berbagi elemen masyarakat, seperti pelajar dan pecinta sejarah.

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menjelaskan, Parade Surabaya Juang digelar agar warga Surabaya, terutama generasi muda mengetahui makna sejarah peristiwa 10 November yang sesungguhnya. Risma ingin, generasi muda menyadari, para pejuang mendapatkan kemerdekaan bukan dengan cara yang muda tetapi dengan seluruh perjuangan dan pengorbanan yang luar biasa.

"Mari kita berjuang terus, tidak ada kata menyerah. Pertahankan api perjuangan bagi Indonesia raya agar mampu membawa pesan damai, aman, sentosa dan sejahtera," kata Risma.

Risma juga berharap, kegiatan tersebut bisa mendorong warga Surabaya, umumnya masyarakat Indonesia untuk tidak mengenal kata menyerah dan putus asa. Sehingga, setiap kalangan masyarakat bisa bersama-sama berjuang memenangkan pertempuran sesungguhnya, yakni melawan kemiskinan dan kebodohan.

"Saya rasa momentum ini adalah momentum kita belajar untuk tidak pernah kenal kata menyerah dan putus asa. Supaya kita semua bisa mememangkan pertempuran yang sesungguhnya melawan kemiskinan dan kebodohan," ujar Risma.

Melalui Parade Surabaya Juang tersebut, sang wali kota juga ingin menyampaikan pesan khusus bagi generasi muda. Pesan yang dimaksud adalah agar para generasi muda tidak pernah lengah. Apalagi, menurutnya para generasi muda tersebut harus menghadapi persaingan yang cukup berat, yakni persaingan antarnegara.

"Oleh karenanya, anak muda harus belajar lebih keras agar bisa mempertahankan kemerdekaan itu," ujar wali kota perempuan pertama di Surabaya itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement