Sabtu 04 Nov 2017 08:11 WIB

Kisah Pilu Korban Penggusuran Akuarium yang tak Mau Pergi

Rep: Farah Noersativa/ Red: Budi Raharjo
Warga bertahan di bekas reruntuhan Kampung Akuarium.
Foto: Farah Noersativa
Warga bertahan di bekas reruntuhan Kampung Akuarium.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Tak ada yang menyangka, 11 April 2016, di pagi hari, Dharma Diani (41) harus melihat rumah yang ia tinggali sejak lahir dibongkar oleh ratusan aparat negara. Yani, sapaan akrabnya, saat itu hanya diam tak bisa berbuat apa-apa. Ia sendiri dikepung orang-orang berbadan tegap, yang mengira ia berpotensi memprovokasi.

Satu setengah tahun telah berlalu, namun peristiwa kelam itu seakan tak mau pergi dari benaknya. Yani menitikkan air mata saat menceritakan kembali peristiwa penggusuran itu. Begitu emosinya, ibu beranak empat itu bahkan tak kuasa menahan tangisnya. Ia tumpahkan segala amarahnya atas musibah kehilangan rumahnya itu.

Tanpa basa-basi dan hanya berbekal Surat Peringatan satu hingga tiga, rumah Yani di Kampung Akuarium RT 12/RW 4 Penjaringan, Jakarta Utara, harus digusur oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, bersama lebih dari 300 rumah lainnya.

“Saya dikatakan penduduk ilegal,” katanya. Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, dan surat-surat penting lainnya, yang ia miliki tak ada yang diakui oleh aparat Pemprov.

Karena merasa telah dilanggar hak-haknya, Yani lalu memutuskan untuk mengajukan gugatan //class action di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Oktober 2016 lalu. Bersama lebih dari 200 kepala keluarga lainnya, ia berjuang untuk mendapatkan hak-hak yang menurutnya telah dirampas.

Ibu tujuh bersaudara itu mengatakan, ada yang tak beres dari penggusuran rumahnya itu. Tidak ada sosialisasi, dan tidak diketahui tujuan digusurnya kampung yang telah lama dia tempati. Penuh kecurigaan. “Kami harus berjuang untuk mengembalikan kampung kami,” katanya.

Dua orang anaknya, Raka dan Rasya yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar, sedang bersiap bersekolah. Dengan baju seragam yang rapi, mereka pun turut menyimak cerita ibunya. Mereka juga melihat mata ibunya yang berkaca-kaca mengingat masa kelam penggusuran itu.

Tak lama, ojek penjemput telah datang. Mereka berpamitan pada Yani untuk berangkat ke sekolah. “Sekolah yang baik ya, nak,” kata Yani sembari memberikan uang sepuluh ribuan pada anak-anaknya lalu bersalaman.

Lantas apa yang kini akan dilakukan Yani setelah kampungnya hancur berantakan? Yani dan warga lainnya mengaku tak mau tinggal di rumah susun yang ditawarkan Pemprov. “Saya harus bayar per bulan, saya nggak mau,” katanya.

Ibu yang memiliki usaha dagang gas LPG itu lebih memilih untuk bertahan hidup di tengah puing-puing bangunan bekas penggusuran Kampung Akuarium. Ia perbaiki rumahnya sedikit demi sedikit berbekal triplek yang disambung-sambung.

Di dalam rumah berukuran 8x9 meter dengan dipayungi seng, ia dan keluarga melanjutkan hidupnya pascapenggusuran. “Saya tinggal berenam di sini,” tuturnya.

 

Kisah Sedih Atik yang Berkepanjangan

Tak hanya Yani, Sukarti (42) juga sangat terkejut saat mendapati rumahnya yang ada di RT 01/RW 04 Kampung Akuarium harus dihancurkan tanpa ada sosialisasi oleh Pemprov kala itu. Ibu yang akrab disapa Atik itu, kini masih bertahan di tenda darurat bersama empat keluarga lainnya.

Atik menceritakan, sebelum tinggal di tenda darurat, ia sempat tinggal di bedeng di areal bekas penggusuran. Ia juga sempat tinggal sementara di atas kapal nelayan yang disandarkan di dekat kampung. “Di kapal nelayan, itu pinjam,” katanya. Namun, ia memutuskan untuk meninggalkan kapal nelayan karena dianggapa berbahaya bagi keluarganya.

Mengenang kembali saat penggusuran, ia bercerita anak pertamanya sedang dalam kondisi sakit. “Saya bingung, karena anak saya sakit keras saat itu,” tuturnya.

Sempat ditawari pindah ke rusun Kapuk, Atik memutuskan untuk menolaknya karena tak mau dibebani kewajiban membayar uang sewa bulanan. “Saya tinggal di sana harus bayar, lalu bagaimana dengan makannya?“ katanya bertanya.

Kemalangan yang dirasakan Atik bertambah. Pada akhirnya, anaknya yang pertama meninggal dunia beberapa bulan setelah penggusuran. Saat ini, ia tinggal memiliki seorang anak. “Dia putus sekolah,” ujarnya lirih.

Pahitnya nasib seakan tak mau pergi dari kehidupan Atik. Suaminya yang seorang pelayar, kini sakit keras. Tergolek tak berdaya di atas kasur berlapis kain terpal. Sakit keras seperti anaknya yang pertama dulu. “Kemarin saya diajak ke Balai Kota tapi tak bisa, karena harus jaga suami,” tutur Ibu yang telah tinggal di Kampung Akuarium sejak 1980-an itu.

Dalam tenda berukuran sekitar 5x10 meter itu ada beberapa barang milik empat keluarga yang tinggal di sana. Baju-baju tergantung di tali yang menghubungkan antar tiang penyangga tenda.

Tak ada pemisah antara tempat untuk tidur dengan dapur. Sehingga bau harum gorengan tahu tempe yang menyeruak siang itu, menyebar ke mana-mana.

Dekat dengan tempat ia menggoreng, sampah bungkus deterjen tergeletak di atas puing-puing bangunan. Kucing dan ayam pun juga banyak yang lalu lalang, berkeliaran di sekitar tenda.

Beberapa buah jengkol telah ia kupas, saat Republika mengunjungi tenda darurat. Ia sedang memasak bersama dengan salah seorang teman perempuannya, yang juga korban gusur.

Teman Atik itu tak bersedia memberikan nama. Ia mengungkapkan ketidakpercayaannya pada siapapun karena kepelikan hidup yang dilaluinya. “Termasuk dengan media dan pemerintah,” katanya sambil menggoreng tahu dan tempe, lauk makan siang mereka.

Penggusuran April 2016 itu telah menyisakan banyak kepahitan dan trauma mendalam bagi warga Kampung Akuarium. Entah sampai kapan mereka akan bertahan di tenda yang berdiri di atas puing-puing bangunan penggusuran itu. “Sampai kapan pun, sampai kampung saya kembali, saya masih tetap di sini,” ujar Atik.

Baik Yani dan Atik, serta temannya yang tak mau menyebutkan namanya itu, berharap banyak pada Gubenur DKI Jakarta yang baru, Anies Baswedan, untuk mengembalikan Kampung Akuarium.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement