REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Wacana koalisi antara PDIP dan PKS dinilai sulit diwujudkan dalam kontestasi Pilkada Jawa Barat. Ini karena banyak halangan di basis ideologis antara kedua partai.
"Ini (koalisi PDIP-PKS) seperti minyak sama air. Keduanya susah bercampur di basis," kata pengamat politik FISIP Universitas Padjadjaran (Unpad), Muradi, di Jakarta, Rabu (01/11).
Apalagi, setelah Pilkada DKI Jakarta tahun lalu, persaingan politik keduanya semakin kuat. Saling melontarkan isu untuk menyerang masing-masing basis massa partai. Dan di banyak level ketika keduanya memiliki posisi, sangat jarang berkoalisi, walaupun di beberapa wilayah, seperti Sulawesi Selatan, hal itu pernah terjadi.
Jadi, yang pertama itu, menurutnya adalah hambatan psikologis dari masing-masing basis massa. Kemudian yang kedua hambatan pemenangan politik. Ada keambiguan kalau keduanya kemudian berdampingan dengan mengusulkan calon bersama.
"Akan mengacaukan persepsi publik yang sudah terbentuk," ungkapnya.
Kedua partai memiliki pemilih ideologis dan tradisional yang kuat. Dan calon bersama ini mengacaukan pilihan dari pemilih ideologis dari masing-masing partai.
Bisa jadi pemilih ideologis dan tradisional di PDIP akhirnya tidak memilih calon bersama dengan PKS, begitu juga sebaliknya. Pemilih ideologis dan tradisional di PKS tidak memilih calon bersama PDIP.
Dan ketiga ini, kata dia, menyangkut hambatan strategi pemenangan. Kalau di Jabar ketika menyebut wilayah untuk pemetaan pemenangan, basis pendukung PKS berada di Kota Bandung, Kabupaten Bandung, wilayah barat, dan lainnya di Depok serta sebagian Kota Bekasi dan sebagian Kota Bogor.
Sedangkan, wilayah pantai utara Jabar banyak dikuasai oleh PDIP. Pemetaan wilayah pemenangan ini akan sangat sulit karena psikologis pemilih yang tidak bercampur. Walaupun ia mengakui dalam dunia politik memang tidak ada yang tidak mungkin karena politik sangat dinamis.
"Saya pribadi melihat bila memang bisa berkoalisi, ini hal baik. Tapi, hal baik saja tidak cukup untuk bisa dipraktikkan," ujarnya.
Dan kalau benar bisa terwujud, menurutnya, tentu ini menjadi kejutan dalam dunia politik di Indonesia setelah polarisasi yang begitu keras usai Pilpres 2014 dan Pilkada DKI 2016 kemarin.
Seperti diketahui, kedua partai tersebut hingga saat ini belum mendaulat nama untuk calon gubernur Jabar. Wacana koalisi antara keduanya pun menguat untuk mengusung semangat nasionalis-religius menguat pascakunjungan kader PKS yang juga istri Gubernur Jawa Barat, Netty Heryawan, dalam peringatan Hari Sumpah Pemuda oleh PDIP di Bandung, akhir pekan lalu.
Netty menyebutkan, bisa saja PKS dan PDI Perjuangan berkoalisi pada Pilgub Jawa Barat 2018 dan apabila koalisi terwujud bisa diberi nama Koalisi Nasionalis-Religius.
"Saya kira kalau PKS dan PDI Perjuangan berkoalisi, saya akan ada di dalamnya. Meskipun bukan saya kader yang diusung, saya terus membantu," kata Netty.
Koalisi keduanya pun mungkin terjadi di Jabar seperti yang pernah berlaku di Sulawesi Selatan.
Menanggapi wacana koalisi, Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di DPR RI Jazuli Juwaini menyebutkan, di partainya ada mekanisme dan sistem untuk menentukan kepala daerah.
Meski begitu, kata dia, jangan menganggap seseorang melakukan manuver politik apabila orang tersebut menghadiri undangan suatu acara dari partai politik tertentu.
Biasanya, kata dia, tidak ada ruang atau tidak dibolehkan bermanuver untuk kepentingan pribadi. "Bu Netty sebagai istri gubernur atau Pak Aher sebagai gubernur Jabar tentu milik semua rakyat Jabar, ormas, bahkan partai politik yang ada di Jabar," ujar Jazuli.
Karena itu, menurutnya, ketika mereka diundang oleh ormas, institusi, atau partai politik sekalipun dengan kapasitasnya sebagai pejabat, wajar jika mereka hadir. Dan, kata Jazuli, dengan mereka menghadiri undangan untuk acara tersebut, tidak serta-merta dapat divonis sebagai manuver politik.
Soal nasionalis-religius, Jazuli menanggapinya dengan konsep dasar negara. Menurutnya, bangsa dan negara Indonesia, sejak didirikan memang sudah berkonsep nasionalis-religius.
(Editor: Nashih Nashrullah).