Rabu 01 Nov 2017 19:43 WIB

Suara Golkar di Jabar Bisa Terpecah karena Dedi Mulyadi

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Bayu Hermawan
Bakal calon Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi
Foto: Antara/M Agung Rajasa
Bakal calon Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menilai, suara Partai Golkar di Jawa Barat (Jabar) bisa saja terpecah jika Dedi Mulyadi memutuskan untuk hengkang akibat rasa kecewanya. Menurutnya, perhitungan politik Golkar lebih ke bagaimana kemungkinan mereka menang, bukan proses kaderisasinya.

"Pastinya ya (suara Golkar di Jabar) tidak utuh. Kecuali kalau Dedi bukan sebagai ketua, yang biasa turun ke grass root dengan sendirinya," jelas Siti kepada Republika.co.id, Rabu (1/11).

Siti mengatakan, biasanya, Ketua DPD atau DPP suatu partai sudah memiliki pangsa pasar pendukungnya sendiri. Keputusan yang diambil Golkar untuk tak mengusung kadernya sendiri dianggap memang akan merugikan partai. Karena bagaimana pun, kata Siti, sekecil apa pun Dedi akan merasa kecewa.

"Itu yang memang akan merugikan partai politik. Contoh, ketika Golkar pecah, Surya Paloh ternyata hengkang dan mendirikan Nasdem dan bisa mendapat suara enam persen lebih. Mana ada partai baru bisa seperti itu," katanya.

Dengan begitu, kata Siti, berarti ketika itu Surya Paloh menggunakan infrastruktur politik partai Golkar. Bisa jadi, hal serupa akan terjadi pada kasus Dedi. Tapi, mungkin levelnya tidak sampai ke nasional, melainkan cakupan wilayah saja.

Siti kemudian menilai, keputusan Golkar untuk mengusung Ridwan Kamil daripada Dedi merupakan hasi perhitungan kemungkinan menang atau kalah. Bukan dari perhitungan bagaimana proses kaderisasinya.

"Bagaimana pun, dari awal namanya parpol kan istilahnya fungsi kaderisasi. Fungsi itu ujung-ujungnya adalah mempromosikan kader dalam Pemilu atau Pilkada," ujarnya.

Meski begitu, menurut Siti, hal itu jamak dilakukan oleh partai politik. Ia mengatakan, partai politik tak akan mau mengusung seseorang apabila terdapat kemungkinan untuk kalah. Hal itu, menurutnya, juga dilakukan di level nasional oleh Golkar.

"Dia langsung mengusung Jokowi padahal semua partai belum mengusung. Akankah zig-zag yang dilakukan golkar seperti ini akan memberikan semacam kemenangan yang mereka harapkan gemilang, itu yang korelasinya masih dipertanyakan," katanya lagi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement