Oleh Prayogi
Wartawan Republika
Pagi itu, pada pertengahan September silam, tak ada sinar matahari. Cuaca pun dalam kondisi berawan. Namun, beberapa pemuda-pemudi terlihat sibuk menyiapkan perlengkapan dari sebuah rumah yang mereka sebut basecamp.
Perlengkapan tersebut terlihat seperti milik petugas pemadam kebakaran. Ada selang, sepatu boots, helm dan tak lupa wearpack, atau pakaian pelindung yang menutupi seluruh tubuh, dengan warna oranye yang menyala.
Sebelumnya, pemuda dan pemudi yang tergabung dalam Tim Cegah Api (TCA) Greenpeace tidak tahu akan menuju kemana hari ini. Namun, mereka telah bersiap untuk bertugas. Selang beberapa menit, mereka memutuskan untuk melakukan mopping up di Sungai Besar, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.
Mopping up, yaitu melakukan pengecekan kembali terhadap lahan kebakaran yang beberapa hari lalu berhasil mereka padamkan. Perlengkapan yang telah mereka siapkan dinaikan ke mobil double cabin secara bersama-sama.
Setelah perlengkapan dinaikkan dan mengenakan wearpack, mereka berdoa, berharap mereka mendapatkan hasil yang maksimal dan diberikan keselamatan selama bertugas di lapangan.
“What first???” teriak seorang.
“Safety First!!!” Jawab beberapa mereka kompak.
Perjalanan menuju lokasi tidaklah jauh hanya hanya sekitar satu jam dari basecamp. Setelah melewati jalan beraspal, perjalanan melewati jalan tanah dan berbatu. Tidak hanya sampai di situ, perjalanan dilanjutkan dengna berjalan kaki untuk mencapai lokasi mopping up tersebut.
Cuaca yang semula berawan berubah menjadi mendung. Hujan rintik-rintik seakan mengawal perjalanan menuju lokasi. Semakin lama, hujan pun semakin deras. Sebagian anggota tim pun memutuskan berteduh sejenak di sebuah pondok kosong yang dibangun warga transmirgran.
Beberapa orang dari mereka lanjut menerobos hujan untuk melakukan pengecekan di lokasi apakah aman atau tidak. Setelah beberapa jam menunggu hujan, mereka pun kembali ke pondk dan melaporkan bahwa masih ada beberapa titik asap yang masih berpotensi meninmbukan kebakaran kembali.
Setelah hujan reda, tim bergerak menuju lokasi dengan berjarak satu km dari pondok tersebut. Terlihat dua orang dari mereka mengsi air ke dalam water bladder bag atau penyimpan air yang digunakan untuk memadamkan titik asap yang terdeteksi.
Sesampainya di lokasi yang terdeteksi masih ada api, matahari kembali bersinar. Tanpa ragu, mereka memulai melakukan kegiatannya. Dibantu dengan alat khusus, mereka menditeksi suhu bawah tanah.
Terlihat jelas angka suhu tahah pada alat tersebut, Jika angka menunjukan tinggi maka tanah tersebut masih memiliki potensi terjadinnya kebakaran kembali, yang selanjutnya mereka melakukan pemadaman pada titik teresbut.
Mereka memastikan hingga berkali-kali. Jika dianggap telah aman dan clear, mereka berpindah titik ke titik selanjutnya. Tercatat, terdapat 5 titik asap pada hari itu.
Tanpa terasa hari mulai gelap pertanda harus segera kembali ke basecamp. Sebab, penerangan di lokasi sangat minim. Kendati demikian, misi hari itu berjalan dengan lancar. Keringat bercucuran dan tubuh lelah pun seakan terbayar lunas.
Tak Ingin Bencana Terulang
Para pemuda dan pemudi itu bergabung dengan TCA Greenpeace karena tidak ingin lagi ada kebakaran hutan seperti pada 2015 di Kalimantan Barat. Anggota tim ini kebanyakan adalah korban kebakaran hutan di Sumatra dan Kalimantan. Ada pula relawan dari Jakarta.
Kebakaran hutan pada dua tahun lalu, baik di Sumatra maupun Kalimantan, menimbulkan berbagai kerugian mulai dari ekonomi, lingkungan dan tidak sedikit menimbulkan korban akibat penyakit pernapasan. Kebakaran itu menyadarkan penduduk sekitar mulai peduli dan sadar untuk melindungi daerahnya dari kebakaran hutan dan lahan.
Para pemuda dan pemudi itu berharap dapat berkontribusi dalam mencegah dan menagulangi kebakaran. “Saya berasal dari desa dan kebiasan orang desa itu (membuka lahan dengan) membakar hutan. Kalau sudah membakar hutan itu, apinya menyebar kemana-mana,” kata salah satu anggota TCA asal Ketapang Oktavianus Albert Rangga Saputra kepada Republika.
Rangga mengatakan jika api sudah menyebar hingga menyebabkan kabut asap maka ada banyak dampak yang mengubah rutinitas kehidupan masyarakat di Ketapang. Dia menerangkan sekolah harus libur, ladang pertanian terbakar, dan kerugian ekonomi serta fisik lainnya.
“Itulah motivasi saya masuk Tim Cegah Api ini,” kata dia.
Rangga berharap selain bisa memadamkan api, dia juga harus dapat mencegahnya. “Apalagi memadamkan api itu adalah hal yang konyol. Berariti kita sudah gagal,” kata dia.
Tahun ini, Tim Cegah Api kembali mencoba berkontribusi, tepatnya di daerah Ketapang, Kalbar, dengan membuka kesempatan bagi para warga ketapang untuk ikut berperan dalam mengatasi kebakaran. Sedikitnya sebayak lima orang Ketapang ikut bergabung dalam tim cegah api ini. “Bergabung di tim ini sangat menyenangkan selain mendapatkan teman baru saya juga mendapatkan ilmu serta pengalaman berharga yang sebelumnya belum saya dapatkan,” kata dia.
Pekerjaan tim tidaklah mudah karena kebakaran yang terjadi di lahan gambut sulit terdeteksi. Karena itu, tim ini terlebih dahulu menjalani latihan-latihan. Mereka dilatih secara khusus untuk mendeteksi titik api dan memadamkannya.
Bentuk pelatihan lainnya meliputi investigasi potensi kebakaran, edukasi pencegahan kebakaran, pengawasan pengelolaan lahan gambut, hingga pelatihan negosiasi dengan perusahaan dan pemerintah. Selain itu, tim tidak bekerja sendiri, tetapi juga bekerja sama dengan Tim Manggala Agni dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi.
Rangga pun menceritakan pengalaman pertama dia turun ke lapangan untuk mendeteksi titik api. “Pertama kali turun kelapangan takut-takut. Biarpun sudah mengunakan perlengkapan yang safety, masih ada rasa deg-degan karena api dan panas. Maka dari itu, harus hari-hati,” ujar mahasiswa Politeknik Negeri Ketapang ini.
Bukan hanya dengan panas, menurut Rangga, anggota tim cegah api juga harus berhati-hati ketika mendeteksi asal api karena kontur gambut. "Tanah gambutnya yang lembut kadang sepatu saya suka jeblos ke dalam tanah saat berjalan. Jadi, semakin menyulitkan dalam memadamkan api,” sambung remaja 20 tahun ini.
Gambut memang rentan terbakar. Kebakaran lahan gambut juga biasanya karena ada rencana pembukaan lahan baru perkebunan, misalnya kelapa sawit. Karena itu, keberadaan lahan gambut di Indonesia semakin terancam.
Lahan gambut utuh dan tersisa pun selayaknya dijaga. Di Ketapang, terdapat salah satu ekosistem gambut yang harus dipertahankan, yaitu di Lansekap Sungai Putri, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.
Lansekap seluas 57.000 hektar itu menjadi salah satu lansekap gambut yang tersisa keutuhannya dan sedang terancam oleh aktivitas bisnis di sekellilingnya. Rangga mengusulkan salah satu solusi yang bisa dilakukan yakni melakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk tidak melakukan hal-hal yang dapat mengakibatkan kebakaran dan kerugian.
Akar permasalahan yang juga harus disasar, yaitu dengan perbaikan tata kelola dalam melindungi hutan dan lahan gambut secara total sehingga tidak ada lagi kebakaran. Hutan dan gambut dapat terlindungi sehinnga memberi manfaat lebih besar bagi kehidupan manusia.
Lihat Juga In Picture: Langkah Nyata Melindungi Hutan dari Kebakaran (1) dan (2)