REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mulai menggelar sidang gugatan pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Kamis (26/10). Dalam sidang ini, HTI melawan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) atas pembubaran yang dilakukannya sejak Juli 2017 lalu.
Kuasa hukum HTI, Yusril Ihza Mahendra, mengatakan, petitum gugatan HTI dalam hal ini terkait dua hal. “Petitum gugutan HTI adalah memohon agar PTUN menunda berlakunya keputusan Menkumham sampai putusan berkekuatan tetap dan memohon agar keputusan Menkumham dinyatakan batal dan tidak sah karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan asas umum pemerintahan yang baik,” kata Yusril dalam pernyataannya, Kamis (26/10).
Dalam sidang gugatan ini, sambung dia, dihadiri juga oleh mantan juru bicara HTI Ismail Yusanto. Sedangkan, dari pihak Menkumham tampak hanya mengirimkan anak buahnya dari Ditjen AHU Kemenhumkam, I Wayan Sudirta, yang masih belum diperkenankan masuk ruang sidang karena tidak mengantongi surat kuasa dari Menkumham.
Baca Juga: Infografis Peta 10 Fraksi DPR Soal Perppu Ormas
Perjuangan HTI, kata Yusril, belum tamat kendatipun Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas) telah disahkan menjadi UU sejak Selasa (24/10). Pasalnya, sejak diputuskan hingga hari ini, HTI belum menerima surat keputusan pembubaran organisasinya.
Dengan begitu, Yusril menganggap kondisi HTI saat ini hanya pingsan dan belum mati. Karena itu, perjuangan untuk membela HTI serta ormas-ormas lain masih belum padam. “Hukum tidak boleh kalah dengan kesewenang-wenangan,” kata mantan menkumham tersebut.
Jika putusan penundaan dikabulkan PTUN, menurut Yusril, HTI dapat hidup lagi. Begitupun nanti jika uji materiil UU Ormas pascapengesahan perppu dikabulkan Mahkamah Konstitusi, HTI dapat kembali mendaftar sebagai ormas berbadan hukum. “Perjuangannya membela HTI dan ormas-ormas yang merasa terancam untuk dibubarkan pascadisahkannya Perppu Ormas menjadi undang-undang takkan berhenti. Hukum dan demokrasi di negara ini harus ditegakkan,” ungkapnya.
Sedangkan, pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie mengatakan, gugatan ke PTUN atau MK bisa saja dilakukan. Namun, HTI sudah tidak memiliki legal standing lantaran telah dibubarkan.
Meskipun demikian, ia mengatakan, gugatan bisa dilakukan pihak-pihak lain. "Siapa saja boleh, ormas lain ajukan saja ke MK. Kita tunggu saja apa putusan MK-nya," ujar Jimly di Istana Kepresidenan, kemarin.
Mantan ketua MK itu menjelaskan, sepanjang peraturan ini menjadi UU, maka siapa pun bisa keberatan dan melakukan gugatan asalkan sesuai dengan aturan. Namun, mereka tetap harus bisa menghormati keputusan Perppu Ormas yang sudah disahkan menjadi UU.
Menurutnya, setiap perppu, apalagi di bidang politik, selalu menuai pro-kontra. Pemerintah dan DPR tinggal melakukan perbaikan jika memang ada pasal yang dianggap bermasalah dan perlu untuk diubah. "Jadi, menurut saya, terima saja, tapi siap-siap diperbaiki kalau memang ini menimbulkan masalah," ujarnya.
Selain itu, Jimly meminta pemerintah bisa mengaplikasikan UU ini tidak hanya terhadap ormas. Harus ada kejelian dari pemerintah mengenai keterikatan ormas dan partai politik (parpol). Sebab, saat ini banyak ormas yang merupakan afiliasi parpol atau sebaliknya.
Pakar hukum tata negara Refli Harun juga mengatakan, gugatan Perppu Ormas di MK otomatis tidak diterima pascadisetujuinya perppu tersebut oleh DPR. Sebab itu, Refli menyarankan agar masyarakat kembali membuat laporan ulang. “Harus diajukan permohonan baru. (Karena) Permohonan baru itulah yang akan diproses oleh MK,” ujar Refli.
Refli mengatakan, tidak sedikit tentunya ormas-ormas yang masih berang dengan hasil keputusan rapat paripurna DPR pada Selasa (24/10). Oleh karena itu, dia menyarankan agar masyarakat jangan salah langkah dengan menghabiskan energi di jalan dengan berunjuk rasa.
(Editor: Fitriyan Zamzami).