Rabu 25 Oct 2017 22:11 WIB

Suap Proyek Jalan, Politikus PKB Dituntut 12 Tahun Penjara

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Bayu Hermawan
Terdakwa kasus suap proyek pembangunan jalan di Maluku dan Maluku Utara Musa Zainuddin menjalani sidang tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (25/10).
Foto: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
Terdakwa kasus suap proyek pembangunan jalan di Maluku dan Maluku Utara Musa Zainuddin menjalani sidang tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (25/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Musa Zainuddin 12 tahun penjara dan harus membayar uang pengganti sebesar Rp 7 miliar atau setara dengan uang suap yang diduga diterima Musa, terkait suap proyek pembangunan jalan di Maluku dan Maluku Utara. Atas perbuatannya Musa dijerat Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

"Menuntut supaya majelis hakim menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan korupsi secara bersama-sama," ujar JPU KPK Ariawan Agustiartono di ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (25/10).

 

Dalam tuntutannya, apabila uang pengganti tersebut tidak dibayar satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta benda milik Musa akan disita untuk dilelang. Namun, apabila jumlahnya tidak mencukupi, diganti dengan pidana penjara selama 2 tahun.

 

Masih dalam surat tuntutan berdasarkan argumentasi dan fakta sidang, JPU KPK menilaiterdakwa terbuktimenerima suap Rp 7 miliarsaat menjadi anggota Komisi V DPR. Suap tersebut diberikan agar ia mengusulkan program tambahan belanja prioritas dalam proyek pembangunan jalan di wilayah Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) IX Maluku dan Maluku Utara serta menunjuk PT Windhu Tunggal Utama dan PT Cahaya Mas Perkasa sebagai pelaksana proyek-proyek tersebut.

 

Adapun dalam pertimbangan, hal yang memberatkan Musa karenadianggaptidak mendukung pemerintah dalam memberantas korupsi. Perbuatannya pun telah meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap anggota DPR RI.

 

Perbuatan Musa juga dinilai berakibat masif karena menyangkut pemerataan penyediaan infrastruktur penunjang untuk meningkatkan ekonomi rakyat, khususnya di Indonesia Timur.Selain itu, Musa dinilai tidak bersikap jujur dan tidak kooperatif dan dinilai merusak check and balances antara legislatif dan eksekutif.Sementara untuk hal yang meringankan, terdakwa belum pernah dihukum dan bersikap sopan selama persidangan.

 

Menanggapi tuntutan JPU KPK, Musa tidak mau berkomentar banyak dan akan melakukan pembelaannya saat sidang pleidoi. "Di pleidoi, di pleidoi, di pleidoi. Nanti di pleidoi aja," ujar Musa usai sidang.

 

Sementara kuasa hukum Musa, Haryo Budi Wibowo menilai tuntutan JPU KPK sangatlah berat. "Kalau mencermati tuntutan, itu sangat spekulatif dan penuh berisi dengan asumsi. Sudah begitu juga banyak juga hal-hal yang jadi dasar JPU, dalil-dalilnya didasarkan pada keterangan saksi yang sifatnya saksi itu bertentangan dengan saksi yang lain. Jadi saksinya tungga," kata Haryo.

 

Menurut Haryo, dalam pleidoi nanti akan banyak hal yang akan dievaluasi. Terutama mengenai Musa yang tidak pernah mengusulkan dua jalalan dalam proyek tersebut. "Taniwel-Saleman dan Piru-Waisala itu adalah kewenangan Banggar (DPR). Beliau (Musa) bukan banggar. Kami akan jelaskan secara kongkrit dan detil (di pleidoi)," tuturnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement