Selasa 17 Oct 2017 12:39 WIB

Pakar: Pengungsi Jangan Sampai Jenuh

Rep: MUTIA RAMADHANI/ Red: Winda Destiana Putri
Pengungsi Gunung Agung menerima pelatihan wirausaha di Posko GOR Kompyang Sudjana, Denpasar Barat, Jumat (13/10).
Foto: Republika/Mutia Ramadhani
Pengungsi Gunung Agung menerima pelatihan wirausaha di Posko GOR Kompyang Sudjana, Denpasar Barat, Jumat (13/10).

REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Kriminolog sekaligus Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana, Gde Made Swardhana mengatakan warga pengungsi Gunung Agung perlu diberi rasa aman dan tidak sampai jenuh selama berada di pengungsian. Ini untuk meminimalisir lebih banyak warga kembali ke rumah mereka di zona merah atau kawasan rawan bencana (KRB).

"Mata rantai kesibukan warga di pengungsian jangan sampai diputus. Mereka bukan hanya makan dan tidur, tapi juga diberi aktivitas," kata Swardhana di Denpasar, Selasa (17/10).

Aktivitas untuk pengungsi, kata Swardhana membuat mereka tetap bisa berpenghasilan meski sudah meninggalkan desa masing-masing. Anak-anak difasilitasi untuk tetap bersekolah, ibu-ibu dan bapak-bapak tetap disibukkan bekerja.

Swardhana mencontohkan pengungsi di Sidemen yang sudah bosan dalam sepekan berada di pengungsian. Setelah diberikan aktivitas, seperti keterampilan membuat canang bagi pengungsi perempuan, keterampilan membuat kerajinan dari bambu, masyarakat pengungsi di sana menemukan kehidupan mereka sama seperti di rumah.

Bantuan untuk pengungsi juga perlu dikoordinasikan. Ini untuk mencegah terjadi kecemburuan sosial karena bantuan hanya terdistribusi lancar di beberapa posko saja.

"Ketika memberi bantuan bahan makanan misalnya, jangan sampai bahannya sudah kedaluwarsa. Ini akan sangat merugikan pengungsi dan mereka kehilangan kepercayaan pada pemerintah," ujarnya.

Swardhana menerangkan ada tiga motif yang mendasari pengungsi memutuskan kembali ke rumah mereka di zona bahaya. Pertama, warga percaya mitos bahwa tidak akan terjadi apa-apa pada Gunung Agung dalam waktu dekat. Gunung Agung dianggap masih aman, sehingga warga bisa tinggal lebih lama di desanya.

Kedua, warga merasa level bahaya Gunung Agung belum mengkhawatirkan meski sudah ditetapkan status awas. Erupsi belum terjadi, dan yang terjadi saat ini hanya berupa getaran-getaran gempa. Ada juga warga yang percaya desanya tidak akan dialiri lava, sehingga belum perlu mengungsi.

Ketiga, warga berat meninggalkan rumah, harta benda, ternak, dan hewan peliharaan. Swardhana mengatakan masyarakat dengan tiga alasan di atas perlu diberikan pemahaman lebih lanjut.

"Erupsi Gunung Agung 1963 memakan banyak korban karena informasi yang diterima masyarakat belum jelas. Sekarang ini informasi yang diberikan sudah sangat jelas," kata Swardhana.

Kepala Subbidang Penerangan Masyarakat Polda Bali, AKBP Ni Made Ayu Kusumadewi mengatakan petugas sudah menyosialisasikan potensi bahaya ke masyarakat di zona merah sejak Gunung Agung ditetapkan level satu. Tugas kepolisian adalah mencegah korban jiwa lebih besar.

"Kami mengajak pemerintah daerah, klian desa adat, lurah untuk mengimbau warga di zona merah mengungsi ke tempat yang sudah ditentukan pemerintah," ujarnya.

Made Ayu mengatakan jika warga tetap menolak meninggalkan rumah, polisi akan mengambil langkah lanjutan bersama instansi terkait. Namun, jika situasi tak memungkinkan bagi petugas berlama-lama di sana, maka kembali ke prinsip awal bahwa tugas polisi adalah meminimalisir korban nyawa.

Saat ini aparat sudah memasangi sejumlah portal di zona merah. Tujuannya untuk mencegah pihak tak berkepentingan masuk ke jalur bahaya.

Hingga 16 Oktober 2017, pukul 18.00 WITA tercatat jumlah pengungsi Gunung Agung mencapai 139.368 orang. Mereka tersebar di 395 titik pengungsian.

sumber : Center
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement