Ahad 15 Oct 2017 00:32 WIB

Tragedi Itu Bernama Reklamasi Teluk Jakarta

Nelayan kerang hijau Muara Angke dengan latar bangunan apartemen di lahan reklamasi yang telah dibangun sejak era Presiden Soeharto
Foto: Wihdan Hidayat/Republika
Nelayan kerang hijau Muara Angke dengan latar bangunan apartemen di lahan reklamasi yang telah dibangun sejak era Presiden Soeharto

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fachruddin M Mangunjaya, Dosen Sekolah Pascasarjana Fakultas Biologi Universitas Nasional Jakarta

Perdebatan kembali mengemuka setelah Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengeluarkan surat keputusan (SK) untuk melanjutkan pergerjaan proyek reklamasi Teluk Jakarta. Bila dipelajari tentang rencana awal didirikannya, tujuan reklamasi ini semula adalah dalam upaya menyelamatkan Jakarta dari gejala perubahan lingkungan --sebagai bentuk adaptasi dari perubahan iklim--yang diharapkan menjadi barrier bila banjir dan rob akibat pasang naik.

Gagasan belakangan muncul, yaitu ditambah dengan konsep reklamasi pulau-pulau baru dengan jumlah luasan ribuan hektare disokong rencana bisnis ambisius dengan luasan yang signifikan, mengalahkan rencana pembangunan di pulau-pulau yang telah ada.

Bagi pengembang pembangunan berbasis ibu kota tentu saja prospektif karena kendali ibu kota yang strategis sebagai show window dengan pangsa pasar yang besar dan nyata.

Selain itu, ibu kota juga merupakan tempat menarik investasi jangka panjang yang dapat berdampak strategis pada perniagaan dan peluang-peluang ekonomi serta kemudahan lainnya. Dalam perspektif ekologis dan paradigma pembangunan berkelanjutan, gagasan reklamasi akan menimbulkan pertanyaan dan kritisi atas keberlanjutan dan efisiensi sumber daya dan dampak ekologisnya.

Pertama, dalam trilogi pembangunan berkelanjutan, ekologi termasuk di dalamnya segala kompleksitas keanekaragaman hayati dan sumber daya yang ada dalam ekosistem merupakan modal alamiah yang perlu terus dipertahankan.

Sebab, dengan mempertahankan modal alamiah, keberlanjutan kehidupan dapat dipertahankan secara efisien. Di kawasan utara Jakarta, masih dijumpai ekosistem alami yang produktif, maka untuk membangun kawasan seperti ini diperlukan kehati-hatian.

Sehingga dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup (UULH) Nomor 32/2009 diamanatkan, agar dilakukan kajian Kawasan Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), yakni sebuah proses sistematis untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip keberlanjutan lingkungan hidup dan mengevaluasi pengaruh lingkungan hidup dari rencana, kebijakan, dan program (KRP).

UULH mengamanatkan, lingkungan hidup Indonesia harus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan.

Dalam pengamatan penulis, ada dua kawasan habitat penting yang dipastikan terganggu di Jakarta adalah kawasan hutan bakau dan kawasan terumbu karang. Kedua habitat ini mempunyai interaksi penting pada ketersediaan hajat hidup manusia.

Terutama, sebagai penghasil pendapatan nelayan sebab kedua tempat tersebut menjadi rumah bagi ikan, udang, kepiting yang memijah secara alami di pantai dan juga sebagai penangkal alamiah bagi abrasi dan tingginya gelombang laut.

Karena itu, studi intensif dampak reklamasi pada ekosistem mutlak dikaji secara akurat dan berhati-hati untuk menjaga keberlanjutan, karena selama ini Teluk Jakarta telah berfungsi baik dalam memberikan jasa ekosistem pada kehidupan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement