Jumat 13 Oct 2017 14:47 WIB

Lansia Pun Tetap Produktif di Pengungsian

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: Esthi Maharani
Pengungsi Gunung Agung menerima pelatihan wirausaha di Posko GOR Kompyang Sudjana, Denpasar Barat, Jumat (13/10)
Foto: Republika/Mutia Ramadhani
Pengungsi Gunung Agung menerima pelatihan wirausaha di Posko GOR Kompyang Sudjana, Denpasar Barat, Jumat (13/10)

REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Rasa jenuh adalah musuh terberat yang dihadapi pengungsi Gunung Agung saat ini. Tiga pekan setelah gunung suci umat Hindu Bali itu ditetapkan awas atau level empat, hingga sekarang sekitar 136.074 jiwa tinggal di 356 titik pengungsian di seluruh kabupaten kota. Pengungsi perlu didorong tetap produktif dengan beraktivitas sesuai keterampilan yang dimiliki. Jika anak-anak bisa menghabiskan waktu dengan bermain, belajar, atau membaca, maka kaum dewasa pun bisa melakukan hal sama.

Ni Komang Suarti (56 tahun) adalah salah seorang pengungsi dari Desa Adat Ababi, Kecamatan Abang, Karangasem. Nenek dari empat cucu ini tak mau menghabiskan waktu berdiam diri di pengungsian. Suarti tetap produktif dan mengikuti pelatihan wirausaha membuat dupa.

"Saya senang diberi pengetahuan baru tentang cara membuat dupa. Ini nantinya bisa menjadi tambahan penghasilan," katanya dijumpai Republika di Posko Induk Gedung Olah Raga (GOR) Kompyang Sudjana, Denpasar Barat, Jumat (13/10).

Suarti mengungsi ke Denpasar bersama keluarga besarnya yang total berjumlah tujuh kepala keluarga (KK). Mereka masih belum berani pulang karena status Gunung Agung masih awas atau level empat. Surti tampak antusias menggunakan alat pembuat dupa milik pengelola usaha kecil mikro (UKM) Dupa Ayurveda. Perusahaan lokal ini berkomitmen memberdayakan maksimal 100 warga pengungsi untuk bekerja dan digaji sebagai karyawan harian.

Salah satu pengelola UMK Dupa Ayurveda, Putu Maha mengatakan pihaknya ingin ikut serta memberdayakan masyarakat pengungsi, sebab dupa setiap harinya digunakan dalam peribadatan umat Hindu Bali. Tujuan lainnya adalah membuat pengungsi tidak cepat bosan dan tetap produktif di pengungsian.

"Mengapa dupa? Sebab orang Bali setiap hari memakai dupa, namun sekarang banyak dupa didatangkan dari Cina dan India yang bahannya tak alami," kata Putu Maha.

Dupa Ayurveda menggunakan kayu-kayuan alami, seperti kayu cendana, kayu kemenyan, damar, dan majegau yang khas Bali. Majegau adalah kekayaan hayati khas Pulau Bali yang sudah ditetapkan sebagai tumbuhan identitas. Perusahaan mikro ini menerima maksimal 100 orang pengungsi untuk ikut bekerja di pabrik selama masa pengungsian. Pengungsi akan dijemput di pagi hari dan pulang ke pengungsian sore menjelang malam hari.

Pemerintah Kota Denpasar memberikan serangkaian pelatihan untuk pengungsi di Posko Induk Kompyang Sudjana. Pelatihan yang diberikan adalah membuat hasil kerajinan berbahan dasar kulit kerang untuk lampu hias, kerajinan bunga serta bokor dari bahan daur ulang, pembuatan dupa, serta tas berbahan dasar plastik bekas.

Mitra mendatangkan langsung seluruh alat untuk memfasilitasi pelatihan dan produksi langsung di pengungsian. Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kota Denpasar, Ida Bagus Alit Wiradana mengatakan hasil kerajinan buatan warga pengungsi akan dipasarkan langsung melalui UKM di bawah Dinas Perindustrian dan Perdagangan, juga Dinas Koperasi.

"Pengungsi menerima pengetahuan dan keterampilan. Itu output-nya," katanya.

Posko Induk Kompyang Sudjana sementara dihuni 37 kepala keluarga (KK) pengungsi atau sekitar 132 jiwa. Mereka terdiri dari 16 orang anak usia 0-5 tahun, 37 orang anak, 69 orang dewasa, dan 10 lansia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement