Rabu 11 Oct 2017 05:34 WIB

Amunisi Impor SAGL Kurang Pas untuk Brimob Polri?

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Teguh Firmansyah
DanKorp Brimob Polri Irjen. Pol. Murad Ismail menunjukan tipe senjata dan jenis peluru di kantor Mabes Polri, Jakarta.
Foto: Republika/Iman Firmansyah
DanKorp Brimob Polri Irjen. Pol. Murad Ismail menunjukan tipe senjata dan jenis peluru di kantor Mabes Polri, Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Supiadin Aries Saputra mengungkapkan, masalah amunisi Stand-alone Grenade Launcher (SAGL) yang diimpor polisi telah dibicarakan dan dikoordinasikan dengan Menko Polhukam.  "Ya saya kira sesuai ketentuan ya dan itu sudah dibicarakan dan dikoordinasikan dengan Menko Polhukam," ujarnya, Selasa (10/10). 

Alasan mengapa amunisi dan senjata itu ditahan, kata ia, karena mungkin memang pada waktu pengiriman belum ada rekomendasi Badan Intelijen Strategis (Bais) TNI.

"Jadi itu kan ketentuan, Permenhan itu tidak melihat, Pemenhan itu untuk seluruhnya, senjata api, jadi siapapun dan yang mengimpor senjata api, baik untuk kepentingan Perbakin latihan menembak atau untuk Polri, tetap harus ada izin dari Menhan (Menteri Pertahanan) dan rekomendasinya dari TNI dalam hal ini Bais. kan gitu," ujarnya.

Kemudian ditahan oleh Bais, mungkin juga amunisi itu memang tidak layak dan kurang pas dipakai oleh Polri. Ia mengaku belum mengetahui secara detil amunisi yang diimpor tersebut. Kapuspen TNI sebelumnya mengatakan, amunisi itu bersifat mematikan.  "Karena saya belum tau, karena amunisi tabung lontar itu kita belum tau jenis-jenisnya. mungkin ada juga yang jenis yang memang tidak layak menghadapi rakyat, kan gitu," ujarnya.

"Saya tidak tau ya, tapi katanya kemaren ada untuk lain-lain. Tapi tidak dijelaskan oleh Brimob. Mereka hanya katakan itu untuk peluru kejut nah yang bagaimana dan seperti apa? karna yang namanya tabung lontar itu macem-macam ada yang asap, bisa juga granat gas air mata bisa juga granat yang suara saja."

Amunisi itu, kata ia, mungkin dianggap berbahaya jika digunakan kepada masyarakat. Tidak mungkin masyarakat dihadapi granat granat seperti itu. Menurut Purnawirawan TNI itu, memang kalau kembali pada aturan, Polri boleh memiliki senjata dan menggunakan senjata standar militer. Tapi tetap ada aturannya.

"Kalau di Amerika tim SWAT, mereka adalah polisi yang memiliki keahlian khusus dan hanya digunakan untuk menghadapi kriminalitas dengan intensitas tinggi dan itu polisi tapi kekuatannya tidak besar mereka. Karena namanya pasukan khusus," ujarnya.  "Nah kalau Brimob dianggap khusus ya silahkan tapi harus ada aturannya kan gitu."

Ia mengakui, senjata itu itu tak tepat untuk digunakan oleh Polisi Anti Huru-Hara (PHH). Sebagai pasukan PHH, tidak perlu pakai peluru tajam atau granat sebesar 46 mm. "Inikan karena masyarakat kita yang demo itu kan tidak perlu ditembaki."

Brimob itu bukan untuk menanggulangi PHH (Polisi Anti Huru-hara) sebenarnya, sebagai pasukan PHH nggak perlu pakai peluru tajam dan granat granat sebesar 46 mm itu. kan karena masyarakat kita yang demo itu kan tidak perlu ditembaki.

Ia menyarankan dibuat saja aturan lebih tinggi setingkat UU tentang senjata api dan amunisi supaya jelas dan disitu diatur siapa yang berhak menggunakan standar militer atau non standar militer, termasuk bagaimana prosedurnya dan persyaratannya. "Nah ini diatur aja oleh UU supaya tidak ada alasan lagi Polri bahwa kami tidak di bawah Kementerian Pertahanan. Nggak bisa, ini negara harus mengatur."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement