REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menilai penghentian reklamasi teluk Jakarta tidak bisa dilakukan begitu saja. Sebab, pembangunan tidak bisa sepotong-sepotong.
Direktur Pengaduan, Pengawasan dan Sanksi Administrasi KLHK, Rosa Vivien Ratnawati mengatakan, semua itu memerlukan koordinasi dengan pemerintah pusat. "Pemerintah pusat sebagai pembina dan pengawasnya Pemda," ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (10/10).
Namun, ujar Rosa, kewenangan izin lingkungan terkait Pulau C, Pulau D dan Pulau G telah dikembalikan ke Pemerintah Daerah (Pemda). Sebelumnya, reklamasi tiga pulau tersebut sempat dimoratorium pemerintah.
Rosa yang akrab disapa Vivien ini menilai penggunaan kata moratorium sebenarnya kurang tepat. KLHK menjatuhkan sanksi administrasi dengan penghentian sementara kegiatan reklamasi.
Penghentian dilakukan karena izin lingkungan sebagai dasar izin kegiatan. Perusahaan yang melakukan reklamasi, diperintahkan untuk memperbaiki Amdal atau dokumen lingkungan. "Nah jadi, setelah mereka memenuhi perintah dalam sanksi itu, ya dicabutlah sanksinya," katanya.
Perusahaan yang melakukan reklamasi di Pulau C dan Pulau D adalah PT Kapuk Naga Indah (KNI). Sementara, Pulau G dengan PT Muara Wisesa Samudera.
Penghentian atau pemberian sanksi administrasi yang dilakukan KLHK merupakan penegakan hukum lapis kedua berdasarkan UU 32 Tahun 2009 tentang lingkungan hidup. Melalui UU tersebut, ada mandat kepada Menteri LHK apabila terjadi keresahan masyarakat, dugaan pencemaran tapi kemudian Pemda tidak melakukan pengawasan dan penegakkan hukum secara optimal, maka menteri dapat melakukan penegakan hukum walaupun izinnya dikeluarkan oleh Pemda.
"Namun, setelah sanksi penghentian dicabut, maka izin lingkungan dikembalikan lagi ke Pemda DKI Jakarta," ujar dia.