REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Inas Widyanuratikah
Matahari sudah tak sedemikian terik bersinar di utara Jakarta. Udara sore berbau amis laut. Tangan-tangan Kalil masih cekatan membersihkan kulit-kulit kerang berwarna hijau tua.
Pria paruh baya dengan kulit terbakar matahari itu duduk di halaman rumahnya bersama sekira 10 orang lainnya. Mereka mengurusi hasil panen yang mereka bawa pulang siang harinya.
Kediaman Kalil yang terletak di Kaliadem, Jakarta Utara, jauh dari kata normal, apalagi mewah. Rumahnya sebagian besar terbuat dari kayu.
Tak jauh dari rumah itu, pohon-pohon bakau yang masih tersisa di pesisir Teluk Jakarta berdiri. Di bagian depannya, masih menggantung spanduk yang sudah ia pasang sejak lama. “Tolak Reklamasi” tertulis di spanduk tersebut.
Kalil menuturkan kepada Republika, kerang-kerang yang ia panen dan bersihkan kulitnya tersebut datang dari bambu-bambu yang ia pancangkan di sejumlah lokasi di Teluk Jakarta sejak beberapa waktu belakangan.
Ia mengenang, tiba di Jakarta Utara dari Indramayu mengikuti orang tuanya pada awal dekade 1980-an. Saat itu, ia baru memasuki usia belasan. Di Muara Angke, mereka kemudian menjadi nelayan berbekal kebiasaan dari kampung halaman.
''Kita diajari oleh orang tua, lalu kami menurunkan ke anak-anak,'' kata Kalil yang mulai melaut sejak usia 11 tahun saat ditemui di kediamannya, pekan lalu.
Khalil ingat betul saat lautan di Teluk Jakarta masih penuh aneka makhluk laut. Berbagai jenis ikan, kerang hijau, sampai rajungan dapat dengan mudah ditemukan di tempat tersebut. Hasil yang banyak membantu nelayan dalam menyambung hidup mereka.
Beberapa tahun belakangan, berbarengan dengan proyek reklamasi Teluk Jakarta muncul gejala alam. Ikan, kerang hijau, kepiting rajungan mulai jarang bisa ditangkap. Para nelayan kerang hijau mendaku, mereka yang paling dirugikan oleh proyek reklamasi tersebut.
Ipa Sarira, istri Pak Kalil, yang juga merupakan nelayan kerang hijau menuturkan, sebelum reklamasi, jumlah kerang hijau yang ditangkap setiap selalu di atas 100 ember. Pada saat reklamasi, tangkapan kerang hijau Kalil bisa mencapai nol. Bisa mendapatkan dua atau tiga ember sudah merupakan hal yang baik.
Hal yang sama diungkapkan Tarsinah, nelayan kerang hijau lain di Muara Angke. Ia yang telah hidup menjadi nelayan kerang hijau selama sekitar 20 tahun menyayangkan hasil kerang yang turun. "Ya kalau enggak dapat ya sudah. Untuk cari makan kami jadi kurang," kata dia.
Sebelum pengerjaan reklamasi, ia menuturkan, setiap panen enam bulan sekali kerang yang dihasilkan bisa mencapai 1.000 ember. Namun, pada saat reklamasi berjalan nelayan kerang hijau di sekitar Tarsinah bisa tidak mendapatkan tangkapan sama sekali.
Menurut Tarsinah, dari sekitar 100 nelayan kerang hijau yang aktif, kini tinggal sekitar 70 orang. Beberapa ada yang beralih menjadi nelayan ikan biasa, lainnya menjadi kuli serabutan.