REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Pengamat Pertanian Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Dr Ir Leta Rafael Levis, M Rur Mnt, mengatakan fenomena El Nino telah memicu kekeringan meluas di 14 dari 22 kabupaten di Nusa Tenggara Timur.
"Kalau pada September diprediksi hanya akan melanda sekitar 270 desa bisa mencapai 315 di 14 kabupaten dari total 3.248 desa di 22 kabupaten di NTT, maka saat ini Oktober bisa lebih meluas lagi akibat el nino," katanya.
Artinya, kata dia hanya ada 315 dari 3.248 desa/kelurahan yang tersebar di 303 kecamatan dalam 14 kabupaten provinsi ini yang telah dilanda kekeringan akibat el nino.
Ia mengatakan, musim hujan pada muim tanam tahun ini sulit diprediksi karena selain hujan yang sifatnya sporadis. Belakangan ini justru terjadi panas berkepanjangan di musim hujan karena berbagai macam faktor penyebab.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Nusa Tenggara Timur telah melaporkan sebanyak 14 dari 22 kabupaten/kota di Nusa Tenggara Timur (NTT) dilaporkan dilanda kekeringan.
Daerah yang dilanda kekeringan yakni kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Malaka, Belu, Lembata, Flores Timur, Sikka, Manggarai Barat, Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat Daya (SBD), Rote Ndao dan Sabu Raijua.
Sedangkan tiga kabupaten, pemerintah daerah setempat sudah melakukan antisipasi dengan anggaran di APBD masing-masing di tahun 2017, yaitu Kota Kupang, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dan Kabupaten Sumba Barat.
Dosen Pertanian Agribisnis pada Fakultas Pertanian Undana Kupang ini yakin pemerintah telah mengantisipasi kekeringan akibat El Nino terhadap ketersediaan pangan sebab bagaimanapun fenomena El Nino dinilai akan mengancam ketahanan pangan mengingat kejadian alam ini akan menggeser waktu tanam.
"Saya yakin bahwa pemerintah telah berhitung terhadap (antisipasi) dampak dari El Nino dan memahami kekhawatiran atas ketersedian pangan nasional menyusul laporan Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang memperkirakan musim hujan tahun ini akan bergeser dari Oktober menjadi sekitar akhir November," katanya.
Pergeseran musim hujan itu, menurut Leta, otomatis akan menggeser waktu tanam pada sejumlah komoditas, seperti beras yang bulan ini tengah panen raya.
Ia memperkirakan, untuk daerah sentra irigasi bisa jadi akan bisa memulai waktu tanam padi sekitar bulan Oktober ini setelah sebelumnya dilakukan perawatan pada waduk irigasi di daerah terkait. Namun, untuk daerah non irigasi diperkirakan waktu tanamnya akan bergeser menjadi Januari tahun depan.
"Kalau (pergeseran musim hujan) itu terjadi, berarti waktu tanam (padi) akan bergeser menjadi Januari. Kalau Januari (waktu tanamnya), panennya baru April. Artinya dari Desember ke Januari, Februari, Maret tahun depan itu tentunya satu kondisi yang sangat kita perhatikan dalam ketahanan pangan," katanya.