REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hakim Komisi Yudisial masa jabatan 2003-2008, Maruarar Siahaan, menilai sistem demokrasi saat ini justru menumbuhkan kesuburan untuk melakukan korupsi. Maruarar mencontohkan banyaknya Kepala Daerah dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menjadi tersangka kasus korupsi.
"Sama dengan (sistem) semua pilkada, ada korupsi karena sistemnya menyebabkan harus bisa korupsi dulu baru bisa menduduki itu," kata Maruarar di Jakarta, Ahad (8/10). "Tidak ada yang gratis /kan," sambung dia.
Menurut Maruarar, pergeseran budaya demokrasi menang adalah sebuah keadilan harus diubah. Winning is justice, kata dia, menjadi pergeseran kultural dalam elite politik yang terjadi saat ini.
Ia menegaskan persepsi seperti ini yang harus dirombak dan di sini revolusi mental ini harus ada. Melalui sistem yang demikian, seseorang yang menjabat akan berusaha mengembalikan uang mereka saat maju dalam pemilihan.
Hukum ini berlaku entah untuk kepala daerah, maupun dalam pemilihan wakil rakyat. Bisa jadi, lanjut Maruarar, seseorang akan mencari modal pencalonan kembali yang lebih banyak lagi sehingga terjadilah kasus korupsi.
Maruarar memberikan apresiasi kepada KPK yang terus mengungkap kasus-kasus korupsi jelang Pilkada 2018. Namun, kata dia, tidaklah cukup hanya dengan penindakan, pemerintah juga harus mulai berpikir untuk mengubah sistem yang menjadi ladang subur korupsi tersebut agar segera diperbaiki.
Belakangan KPK gencar melakukan operasi tangkap tangan (OTT) sejumlah kepala daerah di daerah-daerah. OTT terkait dengan tindakan gratifikasi, suap menyuap, hingga kolusi untuk memuluskan proyek-proyek di daerah-daerah.