REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Koordinator Wilayah Posko Perjuangan TKI (POSPERTKI) Perwakilan Luar Negeri PDIP Saudi Arabia, Sharief Rahmat mendesak pemerintah agar segera memperbaiki tata kelola penempatan TKI sektor domestik ke Timur Tengah. Hal ini diperlukan sebagai prasyarat pembukaan kembali pengiriman TKI ke Timur Tengah.
"Saya melihat Permen 260 Tahun 2015 tentang Penutupan/Pemberhentian penempatan TKI ke Timteng secara permanen perlu diperkuat dengan penataan ulang skema penempatan berbasis perlindungan TKI," ujar Syarief alam keterangan resmi di Jakarta, Kamis (5/10).
Menurut Syarief, semangat yang terkandung dalam Permen 260 tentang penutupan/pemberhentian secara permanen penempatan TKI ke Timur Tengah perlu segera disikapi dan diimbangi serta diterjemahkan ke dalam kebijakan berbasis kompetensi perlindungan TKI ke luar negeri. Pasalnya, negara kompetitor selain kita seperti Filipina dan Bangladesh sudah banyak melakukan perbaikan tata kelola penempatan tenaga kerjanya ke Arab Saudi dan negara Timur Tengah lainnya.
"Dengan pengiriman TKI berkompetensi yang bekerja pada lembaga berbadan hukum di Timur Tengah maka ada kepastian perlindungan," paparnya.
Dijelaskannya, selama 6 tahun moratorium dan pemberhentian secara permanen justru menimbulkan banyaknya TKI ilegal yang masuk ke Timteng khusus Saudi Arabia. TKI yang masuk ini menimbulkan masalah karena tidak memiliki dokumen dan tidak memiliki kontrak kerja. Disamping itu, selama moratorium yang dimaksudkan untuk memberikan shock therapy kepada Saudi Arabia telah berdampak positif terhadap upaya pemerintah Saudi untuk memperbaiki sistem peraturan dan perlindungan terhadap tenaga kerja asing.
"Sejak tiga tahun ini pihak Saudi banyak melakukan perbaikan peraturan, memberikan proteksi dan perlindungan karena shock therapy tidak hanya datang dari Indonesia, tapi juga datang dari Bangladesh, Philipina, juga negara-negara Afrika,” kata Sharief.
Ia menilai kasus-kasus TKI di Saudi banyak berkurang, seandainya adapun itu berasal dari kasus-kasus pengiriman dan penempatan TKI sebelum masa moratorium. Sedangkan yang terbanyak saat ini adalah kasus TKI unprocedural sebagai akibat dari moratorium.
Namun Sharief yang banyak melakukan advokasi melalui jaringan satgas perlindungan TKI di lima kota besar di Saudi Arabia ini memberikan syarat pemerintah harus melakukan perbaikan tata kelola TKI jika akan membuka penempatan.
"Mungkin dijalankannya tidak sekaligus, misalnya dalam masa percobaan dulu TKI dikirim dengan menggunakan pelayanan yang baru dari segi proteksinya, sistem online, juga untuk meminimalisir Kafalah yaitu dengan menggunakan perusahaan. Jadi semua Kafalah menggunakan perusahaan bukan lagi perorangan. PT-nya pun tidak melibatkan semua PT tapi cukup satu atap dengan sistim konsorsium atau apapun namanya, kalau sudah begitu baik pemerintah, masyarakat semua bisa mantau, jadi kalau ada apa-apa bisa langsung dipantau. Kalau kemarin PT banyak sekali semua lepas tangan," ujarnya.
Ia menandaskan pemerintah selama ini terlalu banyak jalan di tempat dan tidak cepat melakukan perebaikan tata kelola TKI. Sementara pada saat yang sama tidak mampu untuk mencegah TKI berangkat ke Saudi Arabia karena menyangkut urusan hidup. Langkah membuka segera dengan mencarikan solusi tata kelola yang baru dinilai lebih baik dengan catatan pengelolaannya harus benar-benar ketat dan mengedepankan perlindungan.
"Memang menimbulkan pro kontra tapi sisi lain ini urusan perut, pemerintah sendiri sudah menyediakan lapangan pekerjaan tapi bagi saya yang baru pulang di Indonesia melihat kawan-kawan TKI enggak mampu untuk bersaing di sini dari segi pendidikan kalah, sedangkan mereka di luar negeri bisa mendapat penghasilan sama seperti lulusan SMA, bahkan lulusan Sarjana. Nah, pemerintah perlu menyediakan perlindungan bagi mereka," katanya.
Sharief mengusulkan untuk penempatan TKI ke Saudi bisa mengikuti model melalui pola Mega Rekruitmen di mana peran sponsor diambil alih oleh perusahaan. Perusahaan bisa memantau perkembangan TKI bahkan mestinya menyediakan lawyer untuk TKI baik yang terkena kasus besar maupun kasus kecil.
"Di Arab Saudi yang saat ini berjalan mekanisme melalui Mega Rekreuitmen, pihak swasta yang mengelola tenaga kerja informal dari banyak negara pengirim. Untuk Indonesia, kita masih menunggu skema dari pemerintah," usulnya.
Selama masa moratorium lalu dilanjutkan dengan pemberhentian secara permanen menurut Sharief rata-rata TKI unprocedural yang masuk ke Arab Saudi antara seribuan TKI. Mereka berstatus TKI ilegal dan tidak bisa mendapat perlindungan dari perwakilan RI karena tidak tercatat dan tidak memiliki dokumen perjanjian kerja. Satu-satunya langkah yang bisa dilakukan pemerintah hanya memulangkan mereka ke tanah air. Permasalah utama yang dialami berkaitan dengan gaji yang tak sesuai, kerja yang harus berpindah-pindah, dan persoalan persoalan lainnya.