REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum DPP Partai Bulan Bintang (PBB), Yusril Ihza Mahendra mempertanyakan rasionalitas ketentuan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) yang dianggapnya tidak rasional digunakan dalam Pemilu Serentak 2019.
"Kalau pemilu itu dilaksanakan serentak, apakah cukup rasional kita bicara tentang ambang batas pencalonan presiden," kata Yusril di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Selasa (3/10).
Yusril mengatakan hal itu ketika menyampaikan permohonan uji materi yang partainya ajukan terkait dengan ketentuan ambang batas pencalonan presiden yang tertuang dalam Pasal 222 UU Pemilu.
Menurut Yusril, hasil Pemilu 2014 yang diatur menggunakan ketentuan Pasal 222 UU Pemilu, tidaklah lagi relevan dan rasional bila digunakan untuk Pemilu serentak yang rencananya digelar pada 2019. "Bagaimana bisa ambang batas 2014 itu untuk calon presiden 2019," ujarnya.
Menurutnya, UUD 1945 mengatakan pemilihan umum diadakan satu kali dalam lima tahun, dan dalam lima tahun itu tentu sudah terjadi perubahan politik sehingga pasal a quo sudah tidak rasional untuk digunakan dalam Pemilu selanjutnya.
"Kalau ambang batas yang digunakan adalah ambang batas Pemilu sebelumnya, sehingga Pemilu 2019 nanti calon presiden itu adalah hasil ambang batas yang dicapai Pemilu Tahun 2014," kata Yusril.
Oleh sebab itu, Yusril kembali mempertanyakan moralitas dari ketentuan dalam pasal a quo.
"Pembentuk undang-undang yang akan menguntungkan dirinya sendiri dan menutup orang lain untuk bisa maju ke pencalonan presiden. Mohon nanti MK pertimbangkan ini ke dalam unsur moralitasnya," ujar Yusril.
Dalam petitumnya, Yusril meminta Mahkamah untuk menyatakan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan menyatakan pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.