REPUBLIKA.CO.ID, KARANGASEM -- Bale banjar atau balai banjar merupakan warisan peninggalan leluhur masyarakat Bali yang berperan penting menjaga keajegan budaya Bali. Bale ini dimanfaatkan masyarakat untuk berbagai kepentingan, seperti rapat desa, kegiatan posyandu, pendidikan prasekolah, hingga lokasi pentas seni.
Kebutuhan naungan bagi pengungsi akibat letusan Gunung Agung yang tak bisa diprediksi membuat pemerintah provinsi menginstruksikan optimalisasi bale banjar di luar kawasan rawan bencana (KRB) sebagai tempat penampungan pengungsi. Gubernur Bali, Made Mangku Pastika memerintahkan jajarannya untuk pendataan bale banjar setiap desa di luar KRB. Hal ini untuk mengantisipasi pengungsian jangka panjang.
"Kita tidak tahu kapan gunung ini akan meletus dan berapa lama pengungsi baru bisa kembali ke rumahnya masing-masing. Kita harus berikan mereka tempat layak," kata Pastika, Rabu (27/9) petang.
Bale banjar dikoordinasikan seorang kelian banjar di masing-masing desa yang dikepalai kepala desa. Pastika menginstruksikan optimalisasi bale banjar mengingat pengalaman letusan Gunung Agung 1963 yang berlangsung selama satu tahun.
Selama itu pula masyarakat di KRB, khususnya zona merah belum bisa kembali beraktivitas di rumahnya masing-masing. Bale banjar dinilainya lokasi terdata yang bisa menjadi tempat penyaluran bantuan logistik. "Kami juga akan siapkan sanitasi dan dapur umum yang layak," katanya.
Bale banjar di Bali bentuk dan ukurannya bervariasi. Ada yang dibuat bertingkat hingga tiga lantai. Ini karena tuntutan bertambahnya jumlah anggota banjar sehingga memerlukan tempat lebih luas.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat jumlah pengungsi Gunung Agung sudah menyentuh 96.086 jiwa hingga Rabu (27/9) petang. Intensitas gempa semakin sering di mana gempa vulkanik dangkal terjadi 329 kali, 444 kali gempa vulkanik dalam, serta 56 kali gempa tektonik lokal.