Rabu 27 Sep 2017 16:19 WIB

Perkawinan Anak Rampas Generasi Produktif

Rep: Kabul Astuti/ Red: Indira Rezkisari
Pernikahan dini/ilustrasi
Foto: pixabay
Pernikahan dini/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia merupakan negara dengan angka perkawinan anak tertinggi ketujuh di dunia. Laporan UNICEF dan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sekitar seribu anak perempuan menikah setiap hari di Indonesia. Padahal perkawinan anak berdampak buruk pada kesehatan anak.

Tingginya angka perkawinan anak ini didorong oleh beberapa faktor seperti pendidikan, budaya, dan status ekonomi. Selain berdampak buruk bagi anak perempuan, perkawinan anak juga berdampak buruk pada masyarakat dan pemerintah. Perkawinan anak dapat menyebabkan siklus kemiskinan yang berkelanjutan, pendidikan rendah, dan kesehatan yang buruk bagi generasi yang akan datang.

Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak Atas Pengasuhan, Keluarga, dan Lingkungan di Kementerian PPPA Rohika Kurniadi mengatakan perkawinan anak juga berpotensi merampas produktivitas masyarakat yang lebih luas, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Jika perkawinan anak terus berlanjut akan berpengaruh pada bonus demografi usia produktif sehingga menghambat pertumbuhan sosial dan ekonomi," kata Rohika Kurniadi di Jakarta, Rabu (27/9). Ia meminta peran serta semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, organisasi, maupun individu anak untuk mencegah terjadinya perkawinan anak.

Menurut Rohika, bonus demografi usia produktif di Indonesia yang berusia 15 tahun ke atas mencapai 70 persen. Rohika menyebutkan generasi muda yang memiliki kualitas yang baik, dari sisi pendidikan, pekerjaan, dan kesehatan akan mempercepat pertumbuhan ekonomi.

Dokter Spesialis Obstetri Ginekologi Julianto Witjaksono mengatakan perkawinan anak membawa dampak buruk bagi anak perempuan seperti gangguan kesehatan dan reproduksi, gizi buruk, gangguan psikologis, risiko kekerasan dalam rumah tangga, terhentinya pendidikan dan kurangnya kesejahteraan.

"Secara global, kehamilan merupakan penyebab utama kematian anak perempuan usia 15-19 tahun. Ancaman kesehatan yang berakibat fatal ini terjadi karena remaja perempuan di bawah usia 18 tahun belum memiliki kesiapan fisik yang prima, baik dari stamina jantung, tekanan darah, atau organ reproduksinya," kata Julianto Witjaksono.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement