Kamis 28 Sep 2017 08:03 WIB

Menghapus Biaya Isi Ulang Uang Elektronik

Arif Supriyono
Foto: dok pribadi
Arif Supriyono

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arif Supriyono, wartawan Republika

Tak akan ada lagi pembayaran tunai di gerbang tol. Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) menetapkan, mulai 31 Oktober 2017, semua kendaraan yang melintas di jalan tol harus menggunakan uang elektronik (e-money) saat membayar di gerbang tol. Ketentuan ini berlaku untuk semua jenis kendaraan, baik umum maupun pribadi. BPJT juga tak akan menyediakan uang pengembalian di setiap gerbang tol.

Seiring dengan kebijakan itu, pemerintah menetapkan pula aturan isi ualng untuk uang elektronik. Masyarakat akan dikenakan biaya untuk setiap isi ulang uang elektronik dengan besaran tertentu.

Reaksi masyarakat pun bermunculan. Mereka rata-rata keberatan dengan adanya pungutan saat mengisi ulang uang elektronik untuk berbelanja di tempat-tempat tertentu tersebut.

Suara gaduh masyarakat tak membuat pemerintah surut. Bank Indonesia, melalui Peraturan Anggota Dewan Gubernur nomor 19/10/PADG/2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional, menetapkan bahwa isi ulang uang elektronik dikenakan biaya. Besarnya biaya tak boleh lebih dari Rp 750 untuk pengisian senilai atau di atas Rp 200 ribu. Biaya maksimal itu diberlakukan untuk satu kali isi ulang.

Biaya itu tak dikenakan untuk pengisian ulang uang elektronik yang nilainya di bawah Rp 200 ribu. Dari hasil kajian BPJT selama ini, sekitar 96 persen pengisian ulang uang elektronik bernilai tak lebih dari Rp 200 ribu. Kajian itu dilakukan sebelum BPJT mewajibkan penggunaan uang elektronik untuk pemakai jalan tol. Sangat boleh jadi, setelah keputusan tersebut bakal akan ada perubahan angka.

Rencana BI untuk mengutip biaya isi ulang uang elektronik ini, menurut saya, agak berlebihan dan tidak sesuai dengan logika ekonomi atau asas manfaat. Dengan keputusan pemerintah untuk mewajibkan penggunaan uang elektronik dalam pembayaran di gerbang tol, secara otomatis akan ada kelipatan jumlah dana yang terkumpul dalam bentuk deposit. Ini tentu saja memberikan keuntungan bagi pemerintah.

Dengan sistem ini pula berarti masyarakat telah membayar di muka sebagai akibat dari rencana penggunaan jasa jalan tol. Ya semua itu masih rencana, karena tak selalu bisa dipastikan isi ulang uanng elektronik itu akan habis dalam satu-dua bulan atau lebih. Mestinya, pihak yang membayar di muka justru mendapatkan manfaat (benefit).

Sejumlah kendaraan antre membayar tol di gerbang Tol Senayan, Jakarta, Selasa (5/9). Pemerintah berencana menerapkan transaksi uang elektronik (e-Money) pada seluruh gerbang tol di Indonesia terhitung pada 31 Oktober 2017, dengan 20 gerbang tol yang lebih dulu akan memulai penerapannya sejak pertengahan September 2017 ini. (Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang

Dalam tradisi perdagangan modern, pembeli atau pengguna jasa yang membayar lunas di muka akan mendapat keringanan atau potongan biaya. Bisa juga mereka ini mendapat bonus lain yang besarnya disesuaikan dengan kondisi perusahaan dan kepatutan yang ada. Apalagi, nilai isi ulang uang elektronik ini pasti berlipat-lipat dibandingkan biaya yang harus dikeluarkan saat sekali melintas di jalan tol.

Karena itu, mengutip biaya bagi pihak yang melakukan isi ulang uang elektronik justru menjadi hal di luar kelaziman. Sungguh aneh, pihak yang banyak menanam manfaat bagi pemerintah malah diberi beban tambahan. Bukannya penghargaan yang mereka dapat akan tetapi malah beban biaya, meski jumlahnya terasa kecil. Pemerintah mestinya memperhatikan hal ini.

Kalau isi ulang uang elektronik itu dilakukan di tempat lain yang bukan milik pemerintah, masih bisa diterima jika kemudian ada biaya tambahan yang dibebankan. Ini tak ada bedanya dengan pembayaran rekening listrik, telepon, air bersih, dan lain-lain yang dilakukan di gerai-gerai bukan milik pemerintah. Lazimnya ada biaya tambahan, entah itu cuma Rp 500 atau Rp 1.000 untuk sekali pembayaran.

Nilai biaya untuk isi ulang uang elektronik memang tergolong kecil. Mungkin juga tak terlalu terasa bagi sebagian besar masyarakat kita, yakni para pemiliki kendaraan roda empat atau lebih. Namun bukan nilai kutipan dan pungutan itu yang menjadi substansi tidak tepatnya beban biaya itu diberlakukan. Justru pola pikir dasar penentapan pemungutan itu yang perlu dipersoalkan.

Masyarakat luas tahu, bahwa saat ini pemerintah butuh biaya besar untuk pelbagai proyek. Anggaran yang tersedia tidaklah mencukupi. Beban utang negara juga sudah berat. Itu sebabnya pemerintah juga mulai melirik dana yang menganggur dalam jumlah besar untuk dimanfaatkan, antara lain uang haji yang telah disetor para calon jamaah dan nilainya triliunan rupiah.

Eksplorasi dan eksploitasi pajak juga gencar dilakukan. Berbagai jenis usaha kecil pun tak luput dari bidikan pajak walau banyak keluhan dari mereka. Kepemilikan gawai pun kini herus tercatat di harta kekayaan. Seolah, setiap ada peluang untuk mendapatkan dana, hal itu akan dilakukan pemerintah, sekalipun pijakan yang menjadi dasar pemungutan itu tidak kuat.

Sudah semestinya pemerintah juga melakukan edukasi dalam hal cara mendapatkan pemasukan atau dana dengan sebenar-benarnya. Edukasi itu antara lain bisa dilakkukan dengan menjalankan tata kelola pemerintahan dengan benar, tanpa mengingkari kaidah atau prinsip-prinsp dalam dunia modern.

Memberi biaya tambahan bagi masyarakat yang justru membayar di muka uang jasa dalam jumlah besar adalah sedikit bukti tidak tepatnya cara negara dalam menjalankan tata kelola pemerintahan, dalam hal ini terkait dengan masalah pungutan. Langkah ini justru bertolak belakang dengan pembentukan tim sapu bersih (saber) yang kini mulai tak terdengar suaranya.

Saber saat itu dibentuk untuk menghapus segala bentuk pungutan liar di berbagai bidang kehidupan. Ini malah ada pungutan tak perlu dan mengingkari prinsip keadilan, akan tetapi justru dilegalkan pemerintah. Sudah sepatutnya tim saber juga mengincar hal-hal seperti ini, meski itu merupakan kebijakan pemerintah.

Bukan hanya kutipan semacam biaya tambahan isi ulang uang elektronik itu saja yang mengingkari prinsip keadilan dan kaidah perekonomian era modern. Pungutan berupa uang abonemen dalam banyak layanan berbagai produk juga mengingkari rasa keadilan. Biaya abonemen mestinya tak ada lagi. Lihat saja, pelanggan listrik, telepon tetap, dan air bersih masih juga dikenakan biaya abonemen. Biaya abonemen seharusnya sudah menjadi satu dan tecermin dari tarif listrik, air minum, maupun ongkos percakapan telepon yang dibayar pelanggan.

Operator telepon seluler sudah menerapkan prinsip keadilan dan kaidah berbisnis dengan benar tersebut. Para operator telepon seluler sudah sejak lama menghapus biaya abonemen yang pada dasarnya merupakan upaya pembodohan pada pelanggan demi menarik uang yang menguntungkan perusahaan.

Inilah saatnya bagi pemerintah untuk mendidik masyarakat dan mengajari cara berbisnis atau berusaha dengan benar. Para petinggi negeri pun perlu memberi contoh, bagaimana mengelola pemerintahan dengan baik dan benar serta menerapkan kebijakan pada masyarakat dengan mendasarkan diri pada prinsip keadilan. Dengan memberi contoh dan kebijakan yang benar pun terkadang masyarakat masih menerapkan praktik yang keliru. Apalagi kalau negara sengaja menjalankan tata kelola pemerintahan yang tidak tepat dan baik.

Sebaiknya, pungutan untuk isi ulang uang elektronik memang ditiadakan. Demikian pula penerapan pungutan yang tidak pada tempatnya, sudah sepatutnya kini ditertibkan atau dihapus juga.

Ini memang sekilas seperti masalah remeh-temeh. Namun justru inilah yang bisa menjadi salah satu bukti keseriusan pemerintah mengelola negara dengan baik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement