REPUBLIKA.CO.ID, LOMBOK BARAT -- Arus pengungsi akibat erupsi Gunung Agung, Bali, ke Nusa Tenggara Barat (NTB) belum terjadi secara signifikan. Komandan Kapal XXI-2001 Polair Polda NTB Brigadir I Nengah Yasa mengatakaan sudah terpantau ada sejumlah pengungsi dari Bali memasuki Lombok melalui Pelabuhan Lembar, Lombok Barat, NTB, sejak Jumat (22/9).
Jumlah warga yang mengungsi sepanjang Senin (25/9) hingga pukul 18.00 Wita ada lima kepala keluarga dengan total 25 jiwa. Sehari sebelumnya, ada tiga kepala keluarga. Sejumlah turis juga memilih Lombok sebagai destinasi wisata alternatif menyusul naiknya aktivitas erupsi Gunung Agung ini.
"Kalau (pengungsi) membludak ke Lombok tidak benar, hanya memang ada beberapa yang (mengungsi) ke Lombok," ujar Yasa di Pelabuhan Lembar, Lombok Barat, NTB, kemarin.
Menurut Yasa, sejak Ahad (24/9) tim gabungan yang terdiri dari Kepolisian, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTB, ASDP, hingga pihak Pelabuhan Lembar telah membuka posko pemantauan pengungsi erupsi Gunung Agung. Data pengungsi tercatat di sini.
Dari pantauan Republika, tim gabungan melakukan jemput bola dengan menanyakan para penumpang yang baru turun dari kapal. Jika yang turun pengungsi, para petugas akan menanyakan data diri dan tempat yang akan dituju selama berada di Lombok.
Hampir seluruh pengungsi ini mengaku memiliki keluarga di Lombok. Hal ini yang menjadi alasan utama sejumlah warga Bali yang memilih mengungsi ke Lombok.
"Para pengungsi jangan khawatir, ada petugas yang siap membantu, bahkan mengantarkan ke tempat tujuan jika dibutuhkan," kata Yasa.
Anggota Kesatuan Polres Lombok Barat Kawasan Pelabuhan Lembar Bripka Putu Parmana mengatakan, banyak penumpang yang enggan didata saat dihampiri para petugas. Parmana pun memberikan pengertian kepada para pengungsi alasan pendataan tersebut.
Menurut dia, pendataan para pengungsi ini bertujuan guna memberikan kenyamanan dan keamanan bagi mereka sendiri saat berada di Lombok meskipun telah dijemput keluarganya. Parmana menegaskan posko pemantauan ini akan terus dibuka selama 24 jam setiap hari sampai batas waktu yang belum ditentukan.
Level status Gunung Agung dinaikkan dari siaga menjadi awas dengan frekuensi gempa kecil mencapai 500 per hari. Aktivitas erupsi gunung yang pernah meletus pada 1963-1964 ini pun menjadi lebih tinggi namun diprediksi belum tentu akan menyebabkan letusan. Pada letusan 54 tahun lalu mengakibatkan 1.500-an warga meninggal dunia, ratusan ribu orang kehilangan mata pencarian, dan 100 ribuan lainnya terpaksa mengungsi.