Sapto Andika Candra
Wartawan Republika
Tak terhitung berapa kali lembaran-lembaran arsip lama tentang Djamaloedin Wak Ketok, seorang pejuang dari Kuranji, dibolak-balik oleh Hafiz (22 tahun). Sambil sesekali mengintip laju jarum jam, matanya berselancar cepat menyaring informasi penting dari sebagian dokumen yang tersisa tentang tokoh pejuang yang ia angkat dalam tugas akhir kuliahnya itu.
Sebagai mahasiswa tingkat akhir, Hafiz memutuskan untuk menelaah tentang sosok Djamaloedin yang ia anggap gaungnya kini makin teredam. Tujuannya sesederhana ini: agar anak muda Kota Padang tak lupa kalau kemerdekaan pernah diraih dengan pekikan takbir dan derai darah pejuangnya. Wak Ketok memang dikenal sebagai pejuang kemerdekaan yang agamis.
Sore itu, Hafiz tak sendiri. Ia bersama kawan sekampusnya, Yovita (22 tahun) yang juga sedang merampungkan studinya di Jurusan Sejarah Universitas Negeri Padang (UNP). Sama halnya dengan Hafiz, tugas akhir Yovita juga berkisah tentang sepak terjang Wak Ketok dalam merebut kemerdekaan.
Keduanya kini dikejar waktu untuk target kelulusan awal 2018. Namun lazimnya kisah perjuangan mahasiswa tingkat akhir, ada saja ganjalan yang menghambat penyusunan skripsi. Bagi keduanya, ganjalan utama dalam melengkapi uraian tugas akhir mereka tentang Wak Ketok adalah terbatasnya dokumen atau arsip yang membahas tentang tokoh yang mereka angkat.
Yovita mengatakan selama ini mereka bergantung pada dokumen-dokumen baru yang telah disusun oleh sejarawan atau uraian lisan dari keluarga dan kerabat tokoh yang mereka tulis. Arsip-arsip lama yang dengan gamblang menjelaskan penokohan Wak Ketok bisa dibilang jarang.
Kebuntuan dalam mencari bahan skripsi akhirnya terpecahkan di sebuah ruangan tak seberapa luas, di kompleks bekas gedung SMA Negeri 1 Padang. Di sana, beberapa catatan penting tentang Wak Ketok dan tokoh-tokoh lain yang mengiringi tumbuh kembang Kota Padang masih tersimpan rapi.
Arsip-arsip tua berbahasa Belanda dan buku-buku tentang hukum era kolonial seperti Staadsblad yang dicetak awal 1900-an juga masih bisa ditemukan. "Di sini kita bisa melihat upaya untuk menyelamatkan arsip lama dan dokumen-dokumen penting. Kata dosen, no document no history. Jadi merawat dokumen penting bagi keberlangsungan sejarah," ujar Yovita.
Pengunjung mengamati arsip lama Kota Padang berupa foto. (Sumber: Republika/Sapto Andika Candra)
Memang, belum banyak yang tahu kalau Kota Padang memiliki etalase mini yang beirisikan rangkuman perjalanan kota sejak masa kolonial hingga kini. Ruangan sempit yang didatangi Hafiz dan Yovita tadi adalah Galeri Arsip Statis (GAS), sebuah inisiasi Pemerintah Kota Padang untuk menyelamatkan arsip-arsip lama.
Sebetulnya, masyarakat umum boleh saja datang ke galeri tersebut. Namun sore itu, tampaknya hanya dua mahasiswa tadi yang datang berkunjung. Terlihat, pamornya masih butuh sokongan promosi gencar dari pemerintah.
Meski tak seberapa luas, Galeri Arsip Statis sudah menegaskan komitmen pemerintah untuk merawat ingatan tentang perjalanan awal berdirinya Kota Padang. Masuk ke dalamnya, kita akan disuguhi arsip-arsip lama dan dokumen-dokumen pemerintahan sejak awal abad 20, era orde lama, hingga orde baru.
Bahkan, beberapa imaji yang merekam dahsyatnya gempa bumi yang mengguncang Padang pada 2009 juga disimpan di sini. Galeri Arsip Statis ini juga menyimpan cerita Tan Tiong Liu, kusir bendi yang membaur dengan pribumi.
Nama Tan Tiong Liu sebelumnya belum pernah muncul dalam berbagai literatur sejarah Kota Padang, Sumatra Barat. Sebetulnya sosok keturunan Tionghoa itu 'hanyalah' warga biasa, pendatang yang kemudian mencari upah di kota tepi laut tersebut.
Namun, dokumen tentang Tan Tiong Liu masih ada yang tersimpan utuh di sebuah tumpukan kertas kusam berwarna kekuningan di ruang penyimpanan arsip, Dinas Perpustaan dan Kearsipan Kota Padang. Meski bukan siapa-siapa, namun dokumen tentangnya menjelaskan bahwa keberadaan keturunan Tionghoa di Kota Padang sejak awal kedatangannya telah membaur dengan pribumi.
Usut punya usut, ide awal pendirian galeri arsip Kota Padang ini muncul dari pemikiran sederhana seorang Marshalleh Adaz, seorang pegawai senior di kantor arsip Kota Padang. Ia memulai semuanya dengan melakukan pemilahan atas arsip-arsip lama Kota Padang.
Setelah dipilah, arsip-arsip lama yang telah menguning tersebut kemudian dikemas dalam plastik-plastik transparan. Seluruhnya kemudian dibagi berdasarkan momen penerbitan arsip, seperti era pemerintahan kolonial Belanda, Jepang, atau orde lama. Berkatnya, Galeri Arsip Statis kemudian diresmikan langsung oleh Wali Kota Padang Mahyeldi Ansharullah pada Mei 2015.
"Kalau tidak dirawat sejak 2015, mungkin sebagian arsip ini hanya ditumpuk dan disimpan di depo kami di Air Pacah. Disimpan begitu saja sehingga masyarakat tak bisa tahu betapa Padang ini memiliki sejarah panjang," ujar Adaz.