Sabtu 23 Sep 2017 18:21 WIB

Bekas Markas CC PKI Kini Bak Gedung Berhantu

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Teguh Firmansyah
Bekas kantor CC PKI di Jalan Kramat Raya yang sudah tak terurus.
Foto:

Tidak hanya sebagai dekat dengan Bung Karno, Solihin juga dekat dengan para petinggi Masyumi, yang saat ini sebagai kelompok Islam golongan atas. Solihin yang telah meninggal beberapa tahun silam itu, memang sosok non partai yang dekat dengan berbagai kelompok.

Masih tergambar jelas juga dalam ingatan Azizah, ayahnya pernah masuk penjara akibat ulah NICA pada 1950-an. Saat sedang membaca Alquran dengan suara lantang, tiba-tiba saja NICA masuk dan menyeret ayahnya. Beruntung tidak lama ayahnya berada dalam penjara.

Ketika sedang hangat dengan Soekarno dan belum dekat dengan Masyumi, Solihin akhirnya berguru pada ustaz-ustaz yang sering berceramah di lingkungan tempat tinggalnya. Berulang kali Solihin hadir dalam ceramah, sebagai sosok nasionalis. Ia sering sekali membantah ceramah ustaz.

"Sampai pada satu waktu, ia dekat dengan salah seorang ustaz, mereka bertukar pikiran. Ayah saya minta diajarkan agama, ustaz minta diajarkan politik. Akhirnya sejak itu, ayah saya menjadi seorang dengan agama Islam yang kuat. Ketika Bung Karno dikabarkan dekat dengan PKI, ia perlahan menjauh," papar Azizah.

Sejak jauh dengan PKI dan dekat dengan Masyumi, agama Islamnya semakin kuat. Dan sampai pada peristiwa akhir September 1965 itu, Azizah masih ingat pagi harinya dia melihat segerombol wanita di depan gangnya (tempat Haris menunjuk markas Gerwani) sedang menari-nari. Saat itu Azizah masih berusia lima tahun dan belum paham.

"Mereka menari-nari. Saya tidak tahu mereka PKI apa bukan, tapi setelah saya dewasa dan belajar, saya baru sadar oh yang saya lihat waktu itu berarti PKI. Tapi saya memang pernah melihat beberapa kejadian besar yang terjadi di Indonesia, seperti kejadian Malari itu di depan UI (Salemba), pada berkumpul Shalat di sana. Itu saya lihat," papar Azizah.

Bermain ayunan di samping bekas Gedung CC PKI pada saat ngabuburit Ramadhan, adalah salah satu hal tak terlupakan dari adik ipar Syamsu lainnya, Titin (54). Dia mengatakan, sejak kejadian pembakaran pada 1965, gedung itu menjadi Kantor Pariwisata, dan terus berganti-ganti dipakai oleh pemerintah.

"Terakhir itu pada 1992 jadi gedung apa gitu saya lupa. Setelah itu baru kosong terus sampai sekarang. Setahu saya sudah dibeli Hotel Acacia, katanya mau dibangun tapi tidak dibangun juga sampai sekarang," papar Titin.

Nonton bareng film G30S/PKI, dirasakan Azizah adalah hal yang perlu karena masyarakat harus mengetahui apa yang sebenarnya terjadi saat itu. Warga RW 01 bekerjasama dengan RW 03 dan RW 05 Kelurahan Paseban, merencanakan nobar film G30S/PKI pada hari ini, Sabtu (23/9) malam.

Anak-anak juga diikutsertakan menonton dan bagi dia, tidak apa-apa anak diedukasi dengan film itu. "Saya juga tanya kok ke saudara dan teman saya yang punya anak usia SMP atau SMA. Mereka pada menonton dan tidak masalah. Karena perilaku anak balik lagi ke keluarga mereka, seperti saya kan memang ayah saya menanamkan agama sangat kuat, jadi insya Allah tidak lakukan hal-hal buruk," jelas Azizah.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement