Jumat 22 Sep 2017 20:08 WIB

Media Mainstream Diminta Lakukan Watchdog Journalism

Jurnalis
Foto: Yogi Ardhi/Republika
Jurnalis

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Media mainstream seyogyanya melaksanakan watchdog journalism (jurnalisme pengawas) guna mempersempit ruang gerak media nonpers menyebarkan berita bohong (hoaks) di media sosial Akibat media-media mainstream tidak melaksanakan watchdog journalism, media nonpers atau media abal-abal melakukan fungsi tersebut.

Menurut Dosen Komunikasi Politik Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang, Suryanto, pada era rezim sekarang ada anggapan bahwa media-media mainstream tidak berpihak kepada publik, mengabaikan elemen jurnalisme first loyalty to the citizen.

"Pers bawah tanah adalah opsi lain untuk memublikasikan berita atau gagasan yang tidak dipublikasikan media konvensional," kata Suryanto.

Pemerintah dan Dewan Pers, lanjut dia, sedang memerangi hoaks, antara lain, dengan menekan media nonpers yang disebut sebagai media abal-abal. "Dewan Pers bahkan akan memasang barcode bagi media yang terdaftar di Dewan Pers untuk membedakannya dengan media nonpers," katanya.

Namun, lanjut Suryanto, Dewan Pers juga mestinya sadar bahwa muncul dan menggejalanya hoaks dan media abal-abal karena media mainstream hampir semuanya tidak berimbang dalam pemberitaan. "Hal ini menjadi lahan subur bagi para pengelola media hoaks untuk berbagai kepentingan," kata dosen STIKOM itu.

Suryanto lantas mencontohkan pengungkapan sindikat Saracen oleh polisi. Kasus ini cukup besar dampaknya pada masyarakat, khususnya bagi mereka yang selama ini belum percaya bahwa penyebaran hoaks itu ada yang mengorganisasi.

Polri mengungkapkan penangkapan tiga pimpinan sindikat Saracen yang diduga berada di balik sejumlah berita bohong dan provokatif bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) di media sosial.

Penyebaran hoaks itu, antara lain, berisi berita yang memojokkan pemerintah, agama Islam, Kristen, dan kelompok lain yang dapat memecah belah kesatuan dan persatuan bangsa. Kasus hoaks, katanya lagi, bukan hanya terjadi di abad modern ini, melainkan sejak ratusan tahun lalu sudah banyak bermunculan para pemalsu yang membuat seolah-olah apa yang mereka miliki atau mereka ciptakan adalah sebuah kenyataan untuk memengaruhi atau mendapat keuntungan.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement