Kamis 14 Sep 2017 22:06 WIB

Pemprov NTB Raih Opini WTP Enam Kali Secara Beruntun

Rep: Muhammad Nursyamsyi/ Red: Bilal Ramadhan
Gubernur Nusa Tenggara Barat TGH M Zainul Majdi memberikan tausiyahnya di Masjid Lukman Nul Hakim Politeknik Negeri Bandung, Jalan Gegerkalong Hilir, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat, Senin (5/6).
Foto: Mahmud Muhyidin
Gubernur Nusa Tenggara Barat TGH M Zainul Majdi memberikan tausiyahnya di Masjid Lukman Nul Hakim Politeknik Negeri Bandung, Jalan Gegerkalong Hilir, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat, Senin (5/6).

REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) di bawah kepemimpinan Gubernur TGH Muhammad Zainul Majdi kembali meraih predikat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) berdasarkan hasil pemeriksaan BPK RI atas laporan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah Provinsi NTB. Pencapaian ini meneruskan torehan apik Pemprov NTB yang sudah enam kaliberturut-turut meraih predikat WTP sejak 2011.

Pemberian penghargaan ini dilakukan dalamRapat Kerja Nasional (Rakernas) Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Tahun 2017 di Istana Negara, Jakarta, dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang membuka secara langsung, yang juga dihadiri Gubernur NTB TGH Muhammad Zainul Majdi.

Foto: dok Humas NTB

 

Atas prestasi itu, alhamdulillah pada rakernas yang dibuka langsung Presiden Joko Widodo tersebut, kementerian Keuangan RI memberikan PLAKAT PENGHARGAAN atas OPINI WTP 6 tahun berturut turut kepada Gubernur TGB yang diserahkan langsung oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati.

Dalam arahannya, Presiden Joko Widodo mengatakan, transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan di daerah telah menunjukkan progres yang sangat baik. Jokowi juga menyampaikan apresiasinya terhadap hasil pemeriksaan BPK, baik di Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, di mana Opini WTP pada tingkat Kementerian/Lembaga mencapai 85 persen, dan tingkat Provinsi mencapai 90 persen, dan pada tingkat Kabupaten/Kota sebesar 66 persen.

"Tapi WTP bukan tujuan. Tujuan akhirnya adalah bagaimana sebuah program memberikan hasil dan program itu bisa tepat sasaran," kata Jokowi dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id di Mataram, NTB, Kamis (14/9) malam.

Presiden juga mengingatkan soal perbaikan sistem pengelolaan keuangan negara. Baginya, semua yang dilakukan oleh para jajarannya harus mengarah pada perbaikan sistem yang ada.

"Semuanya berkembang dengan cepat dengan cara-cara yang tak terduga. Inovasinya cepat sekali. Oleh sebab itu, kita juga harus berani berubah. Akuntansi kita mestinya harus kita arahkan. Orientasi tidak kepada prosedur, harus diubah kepada orientasi hasil. Hasil pun juga harus berkualitas," ucap Jokowi.

Mantan Gubernur DKI Jakarta itu menambahkan, perubahan ini harus sesegera mungkin dilakukan. Sebab, perlu diakui, masih adanya inefisiensi dalam pengelolaan keuangan negara, baik itu APBN maupun APBD.

"Saya sudah cek satu persatu, banyak sekali inefisiensi itu. Setiap kegiatan yang ada coba dilihat satu-satu, tidak jelas hasil yang akan dicapai," lanjut Jokowi.

Jokowi menjelaskan, dari program-program yang dibuat, masih banyak ditemukan yang sasaran kegiatannya tidak berorientasi pada hasil. Banyak pula program-program di pusat maupun daerah yang tidak terkait dengan sasaran pembangunan nasional.

"Inilah saya kira banyak inefisiensi di APBN dan APBD yang perlu kita perbaiki besar-besaran. Sekali lagi, akuntansi kita harusnya berorientasi kepada hasil bukan prosedur," kata Jokowi.

Jokowi menegaskan kembali pentingnya penyederhanaan Laporan Keuangan dan mengenai penyederhanaan laporan tersebut sebelumnya pernah diminta oleh kepala negara beberapa waktu yang lalu. Laporan pertanggungjawaban yang bertumpuk-tumpuk pada akhirnya akan membuat aparatur menjadi lebih terfokus pada pengerjaan laporan dibanding dengan eksekusi program.

"Ini kita bekerja membuat laporan atau bekerja menghasilkan sesuatu, Saya sampaikan untuk buat yang sederhana. Urusan SPJ sederhana, jangan sampai bertumpuk-tumpuk. Buat saja 2 atau 3, itu sudah maksimal untuk saya," ungkap Jokowi.

Meski demikian, penyederhanaan laporan sebagaimana yang diminta Presiden bukan berarti tidak memperhatikan aspek akuntabilitasnya. Yang paling penting ialah bagaimana laporan tersebut mudah untuk diperiksa, dikontrol, diikuti, dan memiliki hasil yang jelas.

"Penyederhanaan SPJ menjadi kunci yang harus kita lakukan sehingga tenaga pikiran kita betul-betul bisa kita gunakan untuk mengikuti proses kegiatan dan program yang ada, memeriksa kualitasnya, dan tidak tertumpu atau terjebak kepada banyaknya laporan yang harus kita buat," kata Jokowi menambahkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement