REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Politikus senior PDIP yang pernah menjadi terpidana tiga tahun dalam kasus suap proyek pembangkit listrik (PLTU) di Tarahan, Lampung pada 2003, Emir Moeis, Kamis (14/9) mengajukan uji materil terhadap ketentuan Pasal 162 KUHAP. Emir sengaja meminta Yusril Ihza Mahendra sebagai kuasa hukumnya.
Pasal 162 KUHAP itu mengatur tentang saksi yang memberikan keterangan di bawah sumpah dan dimuat dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Jika saksi itu meninggal dunia, sakit, jauh tempat tinggalnya atau karena kepentingan negara tidak bisa hadir di persidangan, maka keterangannya cukup dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Keterangan di bawah sumpah yang dibacakan itu sama nilainya dengan keterangan saksi yang disumpah dan hadir di persidangan.
Yusril yang mendampingi Emir di MK mengatakan kepada wartawan, Pasal 162 itu tidak menjamin adanya 'due process of law' serta mengandung ketidak-adilan dan ketidak-kepastian hukum. "Saksi seperti itu bisa saja berbohong tanpa dapat dikonfrontir dengan saksi lain," kata Yusril di MK, pada Kamis (14/9).
KUHAP mengatur baik jaksa, pesanehat hukum, terdakwa dan hakim diberi kesempatan untuk bertanya kepada saksi. Keterangan saksi yang bertentangan dengan saksi lain, bahkan bisa dikonfrontir di hadapan sidang.
Hal itu tidak dapat dilakukan terhadap saksi sebagaimana diatur oleh Pasal 162 KUHAP.
Bahkan, menurut dia, bisa saja jaksa sengaja tidak menghadirkan saksi di bawah sumpah agar untuk menjerat terdakwa.
Dalam perkara Dahlan Iskan di PN Tipikor Surabaya, menurut Yusril, hal itu juga terjadi. Saksi kunci tidak pernah dihadirkan jaksa dengan alasan sakit. Keterangan saksi itulah yang menjerumuskan Dahlan Iskan. Beruntung kini Dahlan dibebaskan oleh Pengadilan Tinggi Surabaya.
Emir merasa dirinya punya legal standing untuk mengajukan pengujian Pasal 162 KUHAP itu karena dia merasa diperlakukan sewenang-wenang ketika dirinya diadili.
Tidak ada saksi dan alat bukti yang memberatkan Emil dalam persidangan, kecuali kesaksian satu orang yang tidak hadir di sidang, namun BAP-nya dibacakan jaksa karena kesaksiannya di bawah sumpah.
Orang itu bernama Pirooz Mohammad Sharafi, warganegara AS keturunan Iran. Pirooz ini diperiksa sebagai saksi di Markas FBI di Washington DC. Dia mengucapkan sumpah menurut agama Kristen, padahal sepengetahuan Emir dia beragama Islam aliran Syi'ah.
Keterangan Pirooz dan beberapa lembar fotocopy, menurut Emir dijadikan sebagai alat bukti menghukum dirinya tiga tahun penjara.
Dengan kemajuan teknologi sekarang, Pasal 162 KUHAP itu sebenarnya sudah harus dihapuskan. KUHAP dibuat pada 1980 ketika peralatan teleconference belum ada.
Sekarang fasilitas teleconference sangat murah. Setiap saksi yang jauh tempat tinggalnya dapat didengar kesaksiannya melalui teleconference. "KUHAP kita sudah ketinggalan zaman," kata Yusril.
Ia menuturkan, jika uji materiil ini dikabulkan, Emir akan mengajukan PK atas perkaranya. Perkara Emir ini, menurut Yusril, bisa melebar ke mana-mana.
"Emir adalah politisi senior dan pimpinan Komisi Energi di DPR. Kasus suap tahun 2003 itu, jika diusut lebih jauh, ibarat air, bisa mengalir sampai jauh," kata Yusril mengutip syair lagu Bengawan Solo-nya Gesang.