REPUBLIKA.CO.ID, CIMAHI -- Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Cimahi mengungkapkan kurang lebih sekitar 1500 orang anak mengalami putus sekolah. Temuan tersebut didapatkan setelah dilakukan pendataan oleh Rukun Warga (RW) di daerahnya masing-masing yang sebelumnya dilakukan sosialisasi oleh dinas.
"Memang kemarin pendataan, sebelumnya diawali dengan sosialisasi ke RW-RW. Yang melakukan pendataan RW setempat hasilnya direkap sekitar 1500 lebih anak yang putus sekolah," ujar Kepala Dinas Pendidikan Cimahi, Dikdik Suratno Nugrahawan saat dihubungi via sambungan telepon, Selasa (12/9).
Ia menuturkan, anak-anak yang putus sekolah banyak berada di wilayah Cimahi Selatan. Sementara itu, terkait dengan usia anak-anak yang banyak mengalami putus sekolah pihaknya masih melakukan pendataan pengelompokan usia putus sekolah.
Menurutnya, dari hasil pendataan tersebut Dinas Pendidikan akan melakukan analisis mana saja dari anak putus sekolah yang bisa kembali belajar di sekolah reguler atau diikutsertakan dalam program paket A, B dan C. Langkah tersebut akan dilakukan agar anak-anak tersebut bisa kembali mengenyam pendidikan.
Ia menuturkan, pihaknya juga akan mendalami faktor-faktor yang menyebabkan anak-anak putus sekolah. Apabila faktor ekonomi yang dominan menyebabkan anak tersebut putus sekolah maka Dinas Pendidikan akan mendorong pemberian bantuan dana pendidikan selain bantuan dari program Kartu Indonesia Pintar (KIP).
"Dari 1500 ini, harus dibaca dulu kenapa alasannya tidak sekolah. Apa faktor anaknya tidak mau sekolah, keluarganya atau ada alasan lainnya," ungkapnya.
Dikdik menambahkan, pihaknya akan sesegera mungkin mendorong agar anak-anak tersebut bisa segera kembali mengenyam pendidikan. Oleh karena itu akan dilakukan koordinasi dengan instansi lain seperti Dinas Sosial dan aparat kewilayahan.
Selain itu katanya, permasalahan lain yang dihadapi adalah kondisi luas bangunan SD di Kota Cimahi yang sangat terbatas. Sehingga langkah yang diambil untuk memenuhi kebutuhan kelas dengan membangun secara vertikal. Serta jumlah pendidik guru PNS SD yang masih kurang sekitar 350-400 orang.
"Ketika kami melakukan penyeimbangan (pembagian), sebagian guru merasa nyaman dan enggan dilakukan mutasi," ungkapnya. Katanya, banyak guru honorer yang mengajar pun dirasa tidak optimal. Apalagi gaji guru honorer dibayar Rp 600-700 ribu perbulan.